Medan Pers, Batavia – Ketua Dewan Pengurus Nasional Persatuan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) Julius Ibrani mempertanyakan Ketua DPP PDIP Deddy Sitori atas permintaan Polri di bawah Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau Kementerian Penerangan Umum. Urusan Dalam Negeri (Kemendagri).
Ia memandang gagasan itu sebagai sebuah gerakan, meski gagasan konstitusi kepolisian nasional harus direformasi.
Baca Juga: Polri Tolak Presiden IMM di Bawah Kemendagri: Pernyataan Reaksi Akibat Kekalahan PDIP di Pilkada
Menurut Jules, gagasan PDIP dipersepsikan sebagai sebuah gerakan karena melihat banyak situasi di mana mesin negara ditujukan kepada polisi atau alat politik penguasa.
Sementara di mata masyarakat banyak terjadi kejahatan dan tindakan represif, termasuk pembunuhan di luar proses hukum, termasuk hukuman terhadap pembangkang dan tokoh politik, kata Julius dalam keterangannya, Senin (2/12). .
Baca juga: Soal Perwira TNI, Hikmahbudhi menilai PDIP mengkhianati reformasi
Meski demikian, Julius mengatakan, tidak mungkin seluruh aspek struktural dan sistemik di Polri bisa diikutsertakan.
Menurut Julius, kegagalan mendasar Politik Nasional tidak hanya terjadi pada level eksekutif, namun juga pada level konstitusional.
Baca juga: Permintaan Komisioner Polri di Kementerian Dalam Negeri Pak Hendardi tentang Amanat Reformasi.
Amanat Pasal 30 tentang pertahanan dan keamanan tidak secara tegas dan tegas dicantumkan dalam ketentuan undang-undang, sebagai kelanjutan amanat UUD, ujarnya.
Ia mengingatkan, konsep pemisahan sipil-militer yang diikuti dengan keluarnya Polri dari ABRI harus memahami tugas pokok dan fungsi Polri di bidang sipil, dalam tiga bidang. .
Pertama, penerapan hukum integral (Gakkumdu)
Peran Gakkumdu seharusnya berada dalam sistem peradilan pidana, yang tergabung antara penyidik junior kepolisian atau penyidik dan penyidik dan penyidik, serta kejaksaan, penyidik dan penuntut umum, serta aparat penegak hukum. Perkara tersebut harus diputuskan, dan Mahkamah Agung atau hakim adalah pemeriksa sebelum persidangan.
Kedua, Tata Tertib Kerja Umum (Tibum) untuk izin keramaian, demonstrasi, dan lain-lain harus berada di bawah pemerintah daerah, karena ketertiban umum itu sinkron dengan fungsi Satpol PP dan lain-lain.
Apabila tetap berada dalam batas ketertiban umum yang merupakan ciri pemerintahan dan pemerintahan biasa, maka tetap berada di bawah kewenangan atau kendali pemerintah daerah.
Namun jika ada pelanggaran hukum dalam rangka ketertiban umum, maka akan menjadi tanggung jawab Gangga di bawah Komjen Polri.
Ketiga, dalam kaitannya dengan pelayanan masyarakat (Myanmar), hal ini harus dipisahkan dari peran utama (tupoksi) Polri, misalnya penyiapan izin, perilaku baik, dan urusan administrasi yang tidak terkait dengan kantor Gakkumdu, berdasarkan pelanggaran. . hukum dan undang-undang.
Julius berpendapat bahwa hal ini harus diikuti khususnya berdasarkan Art. 30 UUD 1945.
Bukankah pasal 30 tersebut memiliki indikasi yang jelas bahwa dapat ditafsirkan secara bebas, bahkan bebas dan berbeda-beda tentang peran pertahanan dan keamanan negara, jelasnya.
Menurut Julius, hal ini juga menjadi peluang bagi TNI untuk masuk ke ruang sipil, maka TNI memulainya dengan menegakkan hukum TNI, mulai menjaga ketertiban umum bahkan di wilayah sipil seperti transportasi, stasiun umum, dan lain sebagainya. dan pemuda.
“Ini yang diinisiasi PDIP selama sepuluh tahun berkuasa. Ini yang diinisiasi PDIP dalam rangka amandemen (Amandemen) Pasal 30 UUD 1945,” imbuh Julius.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika melihat tingkat penerapan Represi Polri.
Hal ini juga bertentangan dengan hak asasi manusia, karena hukuman tersebut tidak diubah oleh konstitusi.
NEC dan partai politik kemudian harus menjadi ajang evaluasi dan penilaian secara berkala terhadap penyelenggaraan atau tingkat aparat penegak hukum pemerintah, termasuk Polri.
“Ini belum pernah terjadi. Selama ini kita mendengar kasus-kasus besar yang dihadapi Polri, dimulai dari Federico Sambo dan lain-lain, namun disambut dengan kejutan” dan puisi, bahkan pujian dan puisi di Parlemen. Gedung tersebut harus berisi tentang “kritik serius terhadap penilaian dan keputusan mengenai reformasi atau amandemen di masa depan,” kata Julius.
Menurut Julius, hal ini berujung pada impunitas Polri sehingga berujung pada kejahatan yang paling banyak atau sering terjadi di Polri.
Ia mengatakan, partai politik, khususnya PDIP yang sudah lama berkuasa dan masih menjadi partai berkuasa sejak memenangkan pemilu legislatif 2024, harus menginisiasi perubahan struktural dan sistematis di Polri.
“Itu yang ingin kita dengar, dan mereka punya amanah konstitusi dan reformasi,” tutupnya. (mar1 / Medan Pers)