Medan Pers – Nama (anumerta) Brigjen Islamet Mathis ditulis dengan tinta emas pada tanggal berdirinya Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD. Dari ide masing-masing prajurit, pasukan elit legendaris ini didirikan.
Laporan romantis Agostino, solo
Baca juga: HUT Kopasos, Sejarah Pembentukan, Simbol dan Maknanya
SITI Sumarti sedang menonton acara TV saat Medan Pers menyambangi rumahnya di Jalan Tejonoto I No 3, Kampung Jogosuran RT 01/RW 05, Desa Danukusuman, Solo, Kecamatan Serangan, Kamis (14/4) lalu.
Wanita berusia 76 tahun itu tinggal di sebuah rumah sederhana dengan halaman yang luas, warisan Islammat al-Razi.
Baca juga: Brigadir Ivan Dangen Kopasos: Saya Akan Lakukan yang Terbaik untuk Red Hat.
Somarty juga mencatat bahwa wartawan mendekatinya untuk menanyakan tentang pamannya, yang menyandang gelar pahlawan nasional.
Terima kasih banyak, (Salam Math) meninggal 72 tahun lalu dan masih dicari,” kata Sumarthi.
Baca juga: Ulasan Prajurit TNI AD di Papua, Jenderal Dudong: Kehadiran Anda Pasti Gemetar
Sejatinya, berdirinya Kopasos tidak lepas dari gagasan Islam pada tahun 1950. Saat itu, prajurit berpangkat letnan kolonel itu bertugas menumpas pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS).
Prajurit Solo dipercaya sebagai komandan lapangan. Operasi menumpas pemberontak berhasil, namun TNI kehilangan banyak pasukannya.
Ternyata RMS memiliki taktik tempur yang baik dan pengalaman dengan jumlah pasukan yang sedikit, didukung dengan tembakan yang presisi dan kemampuan manuver individu.
Dari situlah Slamet mulai menciptakan unit batting yang mampu bergerak cepat dan mengatasi semua lemparan keras.
Sayangnya, Slamet yang saat itu masih berusia 23 tahun tertembak di Ambon. Dia meninggal 4 November 1950.
Jenazah Slmet dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Bhakti, Jalan Air. Sutami, Pucangsawit, Jebres, Solo. Namun, dia punya ide untuk membentuk pasukan khusus.
Selain itu, Kolonel AE Kawilarang mematangkan gagasan Islam dengan merumuskan Ordonansi Wilayah III pada tanggal 16 April 1952. Kompas
Kini nama Slamet tak hanya abadi di jalan utama Sulu. Kesatrian Slamet Riyadi turut hadir di markas Kopassus Kartosuro Grup 2.
TNI Angkatan Laut juga memiliki kapal fregat bernama KRI Slamet Riyadi. Ada sebuah perguruan tinggi swasta di Solo bernama Universitas Slamet Riyadi (UNISRI).
Pada tanggal 9 November 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menganugerahkan (secara anumerta) gelar Pahlawan Nasional kepada Brigjen Ignatius Islamet Riyadi.
Saat itu Sumarti merupakan wakil ahli waris Islam dan mendapat gelar kehormatan dari pamannya.
“Jasanya masih dikenang. Saya sangat bersyukur punya paman seperti beliau,” kata Sumarthi.
Menurut Sumarti, pada bulan April dan Agustus banyak orang yang datang ke rumahnya untuk mencari tahu tentang keluarga Islamat Math. Jumat (4/8) lalu, seorang perempuan berjilbab kedatangan tamu Kopasos.
“Kopassus berkunjung ke sini minggu lalu, mereka membawa sembako,” kata Somarti.
Wanita yang memiliki enam orang anak ini sudah bertahun-tahun tinggal di rumah warisan Islam Riaz. Sumarti mendampingi kedua anaknya mengurus rumah yang sebagian besar berwarna hijau muda itu.
Rumah ini berada di atas tanah seluas 1 hektar. Terdapat halaman di depan dan belakang rumah.
Lantai rumah hanya terbuat dari semen, pasir, dan kapur. Perlengkapan rumah tangganya sangat sederhana.
Sumarti merupakan salah satu pemilik tanah dan rumah peninggalan. Pemilik lainnya adalah adik laki-lakinya yang tinggal di Jakarta.
Beliau berkata: “Jadi, setelah meninggalnya Pak Aslamet, (tanah dan rumah) diwarisi oleh ibu saya, dan setelah kematian ibu saya, diwarisi oleh saya dan saudara perempuan saya.
Menurut Sumarthi, rumah peninggalan pamannya tidak pernah dipugar. Sejak rumah ini dibangun pada tahun 1848, bentuk, atap dan bangunannya tidak mengalami perubahan.
Seringkali hanya warna dinding rumah saja yang dicat. Somarty mengaku tak punya cukup dana untuk merenovasi rumah bersejarah yang memiliki halaman luas tersebut.
Wanita berkacamata tebal itu hanya bergantung pada uang pensiun suaminya yang tidak seberapa. Penghasilan tambahan baru ia dapatkan ketika ada instansi pemerintah yang berkunjung ke rumahnya.
Bahkan, baik RS Kopassus maupun RS Slamet Riyadi Solo sudah mengecat rumah tersebut. Jamur seperti itu sudah lama tidak ada, kata Sumarti.
Namun Sumarti harus membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atas tanah dan rumah. Ini setara dengan Rp 2,3 juta per tahun sehingga membebani Sumut.
Menurut Sumarti, bakti sosial perorangan pernah turut membantu memulihkan makam Islamat Matematika. Namun, tidak ada bantuan yang datang dari Heritage Conservation Center untuk merestorasi rumah yang berusia lebih dari 1,5 abad tersebut.
Sejarawan Doni Saptoni mengatakan Rumah Matematika Islam belum menjadi warisan budaya. Sejauh ini, yang ada di depan kediaman Sumarti hanyalah papan bertuliskan “Rumah Brigadir Pahlawan Nasional Matematika Islam”.
Dhoni mengatakan, “Keluarga sering menyampaikan keluhan, itu masalah PBB.
Penggiat sejarah asal Sulu ini berharap pemerintah memberikan hibah PBB kepada ahli waris Islam Riaz.
Dhoni mengatakan, harus ada ruang untuk menghormati keluarga pahlawan. (mcr21/Medan Pers) Ayo tonton juga video ini!