Medan Pers, JAKARTA – Tim kuasa hukum (PH) terdakwa Suparta, Harvey Moeis, dan Reza Andrijansjaja mengatakan Majelis Halim harus bijak dalam memutuskan apakah akan mendakwa jaksa penuntut umum (JPU).
Sebab, terdapat perbedaan penghitungan kerusakan lingkungan yang dilakukan pakar kehutanan Bambang Hero dengan pakar geologi Albert Septario Tempessi dan Siahrul.
BACA JUGA: Harvey Moyes membaca Pleiades minim konten dan sarat sensasionalisme
Pernyataan itu disampaikan dalam sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), Jumat (20/12) lalu, dengan acara pembacaan rangkap.
Tim PH menilai Bambang Hero Saharjo selaku ahli penghitungan kerusakan lingkungan dalam kasus dugaan korupsi timah menggunakan citra satelit yang tertutup awan dan tidak akurat.
BACA JUGA: Sidang Pleidoi, Harvey Moeis Tunjuk Sandra Devi
Menurutnya, dalam menginterpretasikan citra satelit lubang-lubang di kawasan aktivitas pertambangan, perlu kehati-hatian dalam menghitung kerugian kerusakan ekologis.
“Cara berpikir dan analisis yang kacau ini diperparah dengan pengaturan domain yang salah, yaitu menugaskan ahli kehutanan untuk menghitung kerugian di kawasan penebangan, ini adalah praktik yang mengingkari ilmu pengetahuan,” kata tim PH.
BACA JUGA: Sidang Korupsi Timah, Harvey Moyes Akui Tak Pernah Nikmati Rp 271 Triliun
Tim PH terdakwa menjelaskan, Bambang Hero menghitung kerugian lingkungan sebesar Rp 271 triliun dengan menggunakan citra satelit resolusi menengah yang masih menunjukkan ketidakakuratan dan berpotensi menghasilkan gambar yang terhalang awan.
Ahli Bambang Hero Saharjo dan Basuki Wasis melakukan analisis kerugian ekologi menggunakan citra satelit resolusi menengah dengan akurasi 15 meter yang bila digunakan berpotensi menghasilkan gambar yang terhalang awan, lanjutnya.
Tim PH menegaskan, citra satelit gratis yang digunakan oleh masyarakat yang tidak memiliki jam terbang panjang akan sulit untuk menafsirkan citra satelit.
Hal ini menimbulkan kesalahan analisis bahwa perkebunan atau pembukaan lahan masyarakat harus diakui sebagai wilayah pertambangan.
“Ahli yang menghitung kerugian lingkungan hidup di lingkungan pertambangan PT Timah tidak mempunyai keahlian di bidang pertambangan,” jelasnya.
Selain itu, tim PH juga mempekerjakan tenaga ahli untuk menghitung pembukaan penambangan bijih timah di wilayah IUP PT Timah, yakni Albert Septario Tempessi dan Siahrul.
Menurut perhitungannya, dibagi 3 periode, total luas areal penambangan PT Timah adalah 52.100 hektare (ha).
Albert dan Siahrul saat itu menjelaskan, luas lahan terbuka akibat penambangan timah di lokasi IUP OP PT Timah Tbk hingga Desember 2014 adalah seluas 45.863,56 ha atau 88,03 persen dari total luas lahan terbuka akibat penambangan timah oleh PT Timah Tbk.
Sejak Januari 2015 hingga Desember 2022, lahan kosong akibat penambangan timah di lokasi IUP OP PT Timah Tbk seluas 5.658,30 ha atau 10,86 persen dari total lahan kosong akibat penambangan timah oleh PT Timah Tbk.
Selanjutnya, sejak Januari 2023 hingga saat ini, lahan kosong akibat penambangan timah di lokasi IUP OP PT Timah Tbk seluas 578,29 ha atau 1,11 persen dari total lahan kosong penambangan timah PT Timah Tbk, kata tim PH. .
Melalui perhitungan yang dilakukan ahli Albert Septario Tempessi dan Siahrul menggunakan citra satelit resolusi tinggi, mereka berhasil membantah dugaan adanya penambangan besar-besaran pada tahun 2015 hingga 2022.
“Bahkan, hampir seluruh areal terbuka akibat penambangan timah di lokasi IUP OP PT Timah Tbk terjadi pada periode sebelum Januari 2015,” (mcr4/Medan Pers) menutup.