Soroti Kasus Timah, Pakar Hukum Sebut Kerugian Ekologis Tak Bisa Jadi Bukti Korupsi

author
1 minute, 43 seconds Read

Medan Pers, Jakarta – Kantor Umum (sebelumnya) Dipercayai bahwa itu belum menunjukkan kehilangan besar dari negara bagian 300 rp triliunan dalam kasus korupsi timah.

Evaluasi tersebut ditransmisikan oleh ahli hukum pidana di Universitas Mataram Ufran Trisa karena sampai akhir persidangan, pernyataan itu tidak didukung oleh tes lengkap.

Baca juga: Ahli Hukum: AUG harus memberikan hilangnya negara 300 RP

Ulfran mengevaluasi bahwa pernyataan dari awal cenderung tertarik dan curiga terhadap kebenaran.

“Jaksa penuntut tetap dengan hipotesisnya, tetapi sayangnya dia tidak didukung oleh evolusi nilai banyak kerugian negara,” kata Ufran, Minggu (5 Januari).

BACA JUGA: Untuk dijatuhi hukuman 8 tahun penjara, mantan direktur PT Timah: Saya tidak punya niat buruk

Karena bukti kerugian negara tidak menanggapi dari sejumlah terdakwa yang dijatuhi hukuman, Kantor Jaksa Agung (sebelumnya) ditargetkan oleh 5 perusahaan yang dicurigai telah berkontribusi terhadap hilangnya negara.

Lima perusahaan termasuk Bangka Pt (RBT) yang disempurnakan dengan kerugian negara yang dikatakan 38,5 triliun RP, Pt mengalokasikan Perkasa (SIP) dari nilai Rp 24,3 trilioni, Pt Sariwiguna Bina Sentosa (SBS) Trilione.

Baca juga: Nilai Elly Rebin dari Pemerintah tidak melindungi orang -orang Babel, membutuhkan tambang kolam

UFRAN juga menggarisbawahi perhitungan kerugian negara dalam kasus ini berdasarkan kerugian ekologis dengan merujuk pada laporan hasil penelitian (LHK) n. VII pada tahun 2014.

Menurut UFRAN, sejauh ini tidak ada topik kuat untuk menunjukkan kerugian ekologis termasuk kerugian finansial negara.

“Kehilangan ekologis lebih banyak polusi atau lebih banyak kerusakan lingkungan, itu tidak dapat diserap segera karena korupsi,” kata Ufran.

Selain itu, UFRAN menambahkan bahwa perhitungan kerugian negara harus menjadi otoritas Badan Audit Tertinggi (BPK) sesuai dengan Konstitusi yang dipercayakan.

Namun, dari keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) n. 31 Pada tahun 2012, agen ini didesentralisasi untuk berbagai organisasi, termasuk lembaga pengawasan keuangan dan pengembangan (BPKP).

“Ini hanya hasil dari audit BPK yang sering dibentuk berdasarkan Konstitusi yang sebenarnya dikecualikan dari auditor auditor BPKP, hanya dibentuk berdasarkan peraturan presiden. Ini sangat aneh dalam hal konstitusi,” kata Ufran.

UFRAN juga mengungkapkan perbedaan dalam hasil audit antara BPK dan BPKP sering menyebabkan ketidakpastian hukum.

Ini memburuk dari upaya polisi untuk menggunakan hasil audit yang dianggap lebih cocok untuk pembangunan kasus yang dibangun tanpa mempertimbangkan legalitas organisasi peninjau. (Mar1/Medan Pers) Jangan lewatkan video terbaru:

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *