Medan Pers, Jakarta – Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Mendez PDT) Yandri Susanto menyampaikan pidato akademik pada acara wisuda di Universiti Sultan Aging Tirtaisa (Ontirta).
Acara tersebut digelar pada Minggu (17/11) di Gedung Auditorium Kampus Antartha Sandangsari, Jalan Raya Palka, Pabuaran, Kabupaten Serang.
Baca Juga: Menteri Desa Yindri Ajak Warga Desa Fokus Pada Pengembangan Produk Lokal
Lulus perguruan tinggi dan meraih gelar sarjana tidak hanya diperlukan untuk melamar pekerjaan di kota, kata Yandri Susanto.
Menurut dia, sebenarnya ada wadah bagi desa untuk membangun desa.
Baca Juga: Langkah Mendes Yandri Tangani 3.000 Desa yang Masih Belum Berkembang
Makanya saya ajak lulusannya bukan hanya melamar kerja, tapi mencari pekerjaan. Terakhir di desa ada lembaga usahanya, kata Yendri di Sarang.
Ia mengatakan lulusan yang mengabdi di desa tidak perlu khawatir soal pendapatan.
Baca Juga: Menteri Desa Yindri mengimbau desa-desa di seluruh Kabupaten Sereng bekerja keras
Sebab, kata Yandri, penghasilan di desa bisa lebih banyak dibandingkan bekerja sebagai pegawai.
“Saya pantau gaji atau pendapatannya di beberapa desa, ada yang pendapatannya Rp 10 hingga 15 juta per bulan,” ujarnya.
Yendri menjelaskan, membangun desa tidak memerlukan spesifikasi lulusan, hanya kesinambungan saja.
“Ketika mendengar kritik mengapa wisudawan tinggal di desa, jangan berkecil hati,” kata Yendri di hadapan ribuan wisudawan.
Ditambahkannya, “Jangan sampai kata-kata tersebut menghancurkan keinginan membangun desa, tapi bisa dijadikan motivasi untuk membangun desa.”
Sebab, menurut Yandri, banyak cara untuk membangun desa apalagi jika didukung dengan potensi sumber daya alam (SDA).
“Bisa membangun desa wisata, kerajinan, dapur, pertanian, pertanian, dan nelayan. Masih banyak lagi,” ujarnya.
Ia berharap desa di Indonesia selalu menjadi tempat pemberi rezeki bagi masyarakat.
Oleh karena itu, warganya tidak memilih tinggal di perkotaan seperti yang terjadi di Jepang atau Korea Selatan.
Akibat tren urbanisasi yang tidak dapat dihentikan, banyak penduduk desa yang lebih memilih tinggal di kota.
Yandri mengatakan, “Dengan begitu desa-desa menjadi sepi, masyarakat berkumpul untuk tinggal di kota. Jangan sampai kejadian Jepang atau Korea Selatan terjadi di Indonesia.” (mcr34/Medan Pers)