Medan Pers – Pria yang usianya tak lagi muda itu tampak bekerja sebagai penyedot debu di kantor Komisi Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Provinsi Lampung. Namanya Cacarmanto.
Pertanyaan oleh Josephine Suchi Wulandari, Bandar Lampung
Baca: Ratusan Atlet Jalani Tes Fisik Jelang Ungu Sulsel, Target KONI Makassar
Manto – dijuluki – Office Boy (OB). Beroperasi dari kantor di Sumpah Pemuda PKOR yang terletak di sepanjang Jalan Halim, Bandar Lampung.
Sebagai OB, Manto menangani operasional gudang seperti gelas dan piring. Itu juga menjaga kehidupan orang tersebut, katanya.
Baca Juga: Kisah Petinju Filipina Peraih Medali Perak Olimpiade Tokyo
Kini Manto berusia 57 tahun. Ia lahir pada tanggal 5 Desember 1965 di Pekanbaru, Rio de Janeiro.
Namun Manto masih mampu mengejar angsa tersebut. “Saya ingin jadi petinju,” ujarnya kepada Medan Pers di kantor KONI Lampung, baru-baru ini.
Baca juga: Masuk Era Digital, KONI Kembangkan Sportbloc Bersama Telekom
Entah berapa banyak wajah musuh yang terpotong dengan selendang, tali kekang, atau sayatan selama lagu tersebut. Meski begitu, janda buta ini sangat bangga dengan usia tuanya sebagai petinju.
Ketika masih muda, Manto sangat menyukai tinju. Dia memulai pelatihan tinju pada tahun 1979.
Namun saat itu mereka sedang tidak berada di Pekanbaru. Saat Manto masih besar, ABG memutuskan pindah ke Lampung.
“Waktu saya datang ke Lampung, saya menemukan sasana gulat, tapi kurang tepat,” ujarnya.
Shahdan, Manto pindah ke Aceh. Namun, dia tidak mengetahui nama belakang Veranda, sebuah provinsi di Mekkah.
Untuk itulah Manto kembali ke Lampung. Dikenal dengan sebutan “Sai Bumi Ruwa Jurai”, ada juga guru yang memolesnya.
Di hadapan atlet Cacarmanto memperlihatkan jurus tinju miliknya. Foto: Josephina Wulandari/Medan Pers.
Pelatih pertamanya adalah mendiang Amir Hamzah. Setelah dua tahun berlatih, Manto membuat penampilan resmi pertamanya di dinding.
“Saya mulai berkompetisi pada tahun 1981,” katanya.
Manto juga telah meraih beberapa prestasi di ajang nasional Lampung. Hasil terbaiknya adalah finis 8 besar pada PON XI di Batavia tahun 1985.
Petinju amatir itu juga menjadi favorit ketiga juara Pra PON XI tahun 1984, kata Manto, “Itu kebanggaan saya.”
Memang Manto belum bisa berbicara banyak di kancah nasional maupun internasional. Tapi dia tetap bangga.
Bagi Manto, harga diri mengalahkan uang. “Saya senang dan bangga bisa aktif,” ujarnya.
Pada waktunya, pemicu untuk melihat segalanya. dia berlatih tinju sebanyak yang dia bisa.
“Sebelumnya saya tidak punya uang, saya memiliki motivasi yang dalam, dan saya tidak menggunakan mobil atau mobil untuk berlatih, tetapi saya berjalan, dan saya masih melakukannya, dan saya mengikuti segalanya untuk berlatih. proses,” katanya.
Tapi mantel itu harus terhubung dengan kenyataan. Karirnya seakan terhenti seiring bertambahnya usia.
Setelah sekitar 15 tahun bertinju, Manto memutuskan untuk mengejar karir lain. Pada tahun 1990 dia gantung sarung tangan.
Belakangan, Manto bergantung padanya untuk mencari nafkah. “Saya bekerja di hotel tersebut dari tahun 1991 hingga 1999,” ujarnya.
Manto Pacific Hotel dan Sahid Hotel Bandar Lampung bekerja. Namun dia merasa tidak nyaman bekerja di klinik.
“Terlalu terhubung,” kata Elias Pical, seorang penggemar nalar.
Bagi Manto, dia ingin mengejar karir lain. Namun mencari pekerjaan lain juga tidak mudah.
KONI Lampung juga berada di Manto. PROFESINYA MASIH OB.
Dalam menjalankan usahanya, Manto mendapatkan gaji sebesar upah minimum (UMK) kota tempat tinggalnya. Namun kini ia sudah memiliki rumah sendiri di Bandar Lampung, Teluk Betung Barat, Kecamatan Bakung.
Menurut Manto, dirinya tidak pernah menerima manfaat apa pun dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi lampung, maupun pemerintah kota bandar lampung. Dengan cara ini lebih mudah untuk menemukan tempat.
“Iya saya bisa dapat bantuan kerja, tes ini artinya hari ini saya bekerja di KONI Provinsi Lampung,” ujarnya.
Karenanya pekerjaan KONI Lampung ini pun membawa kebahagiaan bagi Manto. Dia diizinkan bekerja di tempat lain.
“Saya bersyukur meskipun saya OB, saya tetap mendapatkan pekerjaan yang halal dan diperbolehkan bekerja di beberapa tempat,” ujarnya.
Manto menjadi janda pada tahun 2019 setelah kematian istri Bahar, Laila Hisna. “Saya bersyukur masih sehat,” ujarnya.
Kini Manto tak secemerlang dulu. Namun gairahnya tetap membara.
Manto juga berpesan kepada para atlet produktif dan mantan atlet yang pernah membanggakan gelar daerah atau nasional agar tidak terlalu berharap banyak pada bantuan pemerintah.
Menurutnya, pemerintah dibebani banyak permasalahan.
“Bukannya saya tidak mau bantuan, tapi saya lebih memikirkan pemerintah, bukan atletnya,” ujarnya.
Manto menilai petinju muda masa kini punya potensi besar dan masih punya ruang untuk mengembangkan keterampilan dan kemampuannya.
Bedanya dengan petinju-petinju sebelumnya, semuanya masih terbatas, ujarnya. Mendengarkan! Pilihan Editor: