Medan Pers – Hingga saat ini, Pulau Sebatik di Kabupaten Nunukan dikenal sebagai daerah terpencil dan terpencil dari Kalimantan Utara. Namun pulau-pulau di Indonesia dan Malaysia ini juga terkenal sebagai penghasil santri.
Kenny Kurnia Putra, Sebatik
BACA JUGA: Gagasan melaksanakan amanat UU Ganjar Pesantren untuk memajukan pesantren.
Berdasarkan data Balai Karantina Pertanian Kelas II Tarakan, luas daratan Pulau Sebatik adalah 433,84 kilometer persegi. Dari jumlah tersebut, luas wilayah divisi Sebatik yang merupakan bagian dari Indonesia adalah 246,61 kilometer persegi, dan 187,23 kilometer persegi milik negara bagian Sabah, Malaysia.
Sebatik memiliki lima kecamatan dengan 19 desa. Hampir setiap desa di Sebatik memiliki pesantren.
BACA JUGA: Pidato Lengkap Megawati, Bicara Rekayasa Hukum dan Penculikan Aktivis
“Ada puluhan pesantren di sini,” kata Komisaris Daerah Yayasan Al Khairat Nunukan Suniman Latasi kepada Medan Pers sebelumnya.
Yayasan Al Khairat memiliki pesantren di Desa Tanjung Arau, Kecamatan Sebatik Timur. Namanya Pondok Pesantren Al Khairat (Ponpes).
BACA JUGA: Hasto Ungkap Megawatt – Ketemu Jokowi di Istana, Semua Senang, Clear!
Beberapa waktu lalu, Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini mengunjungi salah satu pesantren yang memiliki 50 santri.
Menurut Suniman, Yayasan Al Khairat mendirikan pesantren di Sebatik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
“Saya terlibat dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat yang lebih cerdas dengan membangun pesantren, khususnya Yayasan Al Khairat,” kata Suniman.
Sarana dan prasarana Pondok Pesantren Al Khairat di Sebatik masih buruk. Lokasinya berada di tengah perkampungan, dan belum banyak orang yang mengetahui lokasinya.
Situasi di Pondok Pesantren Al Khairat di Sebatik bisa dikatakan memprihatinkan. Bangunannya tampak seperti toko yang diubah menjadi asrama anak laki-laki.
Asrama yang menampung sekitar 50 siswa menggunakan triplek sebagai jendela. Kost di belakang masjid ini memiliki dua ruang kelas dengan dinding triplek di bagian asramanya sudah roboh di beberapa bagian.
Fasilitas-fasilitas tersebut sangat membantu lembaga pendidikan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Suniman mengatakan, Pondok Pesantren Al Khairat di Sebatik baru berusia dua tahun.
“Saat ini yang tinggal di pesantren putra ini baru 50 orang. Insya Allah kalau fasilitasnya cukup, bahkan banyak anak TKI yang mau masuk ke pesantren ini,” ujarnya.
Perkiraan angkatan kerja Indonesia (PMI) di Tawau, Sabah, dan Indonesia di Malaysia mencapai puluhan ribu. Perjalanan laut dari Tawau ke Sebatik dengan menggunakan perahu motor memakan waktu kurang dari satu jam.
Menurut Suniman, pesantren di Sebatik tidak hanya dihuni warga sekitar, tapi juga santri Saba.
“Anak-anak Tava masih banyak yang mau bersekolah di sini, hanya ada batasannya saja,” ujarnya.
Khususnya bagi Pondok Pesantren Al Khairat yang saat ini membutuhkan ruang kelas dan asrama yang memadai, serta pagar yang kokoh.
Mungkin total anggarannya sekitar Rp 5 miliar, kata Suniman.
Saat ini pesantren masih mengandalkan dana dari lembaga masyarakat. Misalnya, pembangunan masjid masih bergantung pada sumbangan warga.
“Musholla ini masih didanai oleh masyarakat. Jadi belum ada dukungan pemerintah,” kata Suniman.
Oleh karena itu, dia mengharapkan pemerintah fokus pada pendidikan, khususnya pesantren di sepanjang perbatasan Indonesia-Malaysia.
“Pemerintah fokus pada sekolah swasta, pesantren, dan sebaliknya,” kata Suniman.
Salah satu santri Pondok Pesantren Al Khairat Sebatik Mohamed Syahril berharap hari esok lebih baik dari orang tuanya.
Syahril – begitu ia disapa – mengatakan, setiap hari di hotel diawali dengan hafalan Al-Qur’an kemudian dilanjutkan dengan pelajaran lainnya.
“Setelah itu kita salat magrib, makan, dan istirahat. Selesai salat Asar, kita baca dulu ritualnya, lalu salat,” ujarnya.
Kegiatan rekreasi juga tersedia. “Setelah belajar, saya kadang-kadang bermain sepak bola dan membuat kerajinan tangan,” kata Sakhril.
Asa Syahril menemukan titik terang ketika Menteri Sosial Tri Rismaharini datang ke Pondok Pesantren Al Khairat Sebatik untuk memberikan seragam dan tiga komputer.
“Saya sangat senang meminta bantuan. Seragamnya biasanya dengan sarung seperti ini dan kemeja putih,” kata Syahril.
Anak baru Pondok Pesantren mengatakan Al Khairat telah merencanakan ujian berbasis komputer. Namun rencana tersebut tidak terlaksana karena kurangnya komputer.
“Kata gurunya mau ikut ujian dengan bantuan komputer, tapi tidak ada, nanti dicoba, Insya Allah mereka membantu,” kata Sakhril.
Meski demikian, Syahril juga mengharapkan dukungan pemerintah lainnya, yakni pembangunan ruang kelas dan asrama. Saat ini terdapat dua kelas di Pondok Pesantren Al Khairat.
“Makanya doakan,” harap Syahril.
Selain itu, Syakhril juga bercerita tentang banyak temannya yang tidak memiliki tempat tidur.
“Ada yang punya (tempat tidur), ada yang tidak. Kalau tidak, tidur di kasur saja,” ujarnya.
Syahril dan kawan-kawan menyisihkan Rp 1.000 untuk membeli kipas angin.
“Juga penggemarnya sedikit. Semuanya rusak.” Jadi kami menggalang dana untuk membeli kipas angin,” ujarnya (mcr8/Medan Pers) Sudah nonton video terbarunya di bawah ini?