Medan Pers, JAKARTA – Meski usianya tak muda lagi, pengacara kondang Krisna Murti meraih gelar PhD dari Universitas Jayabaya, Jakarta Timur.
Sebagai seorang pengacara yang telah berkecimpung di dunia hukum Indonesia, ia ingin meningkatkan kemampuannya menjadi lebih baik.
BACA JUGA: Polda keluarkan panggilan kedua terhadap Tonny Permana, kata pengacara Krisna Murti
Ia memulai studinya pada Maret 2021 dan akhirnya dipromosikan pada Oktober 2024. Krisna menyandang gelar Doktor Ilmu Hukum dengan predikat cumlaude.
“Saya berharap gelar guru besar dapat terus kita sandang di masa mendatang,” kata Krisna, Selasa (8/10) di Jakarta.
BACA JUGA: Krisna Murti mendukung usulan KPK terkait Perppu Pilkada
Di tengah kesibukannya sebagai pengacara, Krisna berhasil menyelesaikan tesisnya dengan judul “Rumusan Ideal Tindakan Hukum Luar Biasa Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut Umum dalam Perspektif Keadilan dan Kepastian Hukum”.
Tesis ini membahas tentang terbentuknya sistem penilaian perkara pidana yang ideal oleh jaksa untuk mencapai keadilan dan kepastian hukum di Indonesia berdasarkan berbagai aspek filosofis dan rasional, serta melihat perkembangan hukum terkait judicial review di negara lain, seperti Belanda.
BACA JUGA: Lebih sedikit pelajar yang menjadi korban eksploitasi seksual
Krisna menilai sudah saatnya Indonesia memberikan kewenangan kepada jaksa penuntut untuk mengambil tindakan hukum yang tidak biasa dalam uji materi. Asalkan memenuhi syarat-syarat yang relevan, seperti ditemukannya fakta atau bukti baru (novum), adanya keterangan palsu dari saksi-saksi tersangka, dan kesalahan hakim yang mengadili perkara.
Kekuasaan Jaksa untuk mengambil tindakan hukum luar biasa dalam rangka peninjauan kembali merupakan bagian dari pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya dalam memperjuangkan keadilan bagi para korban. Hal ini dilakukan untuk mencapai undang-undang yang menawarkan kepastian hukum yang setara.
“Setiap orang, baik tersangka maupun korban, sebagaimana dijamin dalam UUD 1945, mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum. Hal ini untuk menciptakan rasa keadilan dan kepastian hukum bagi para korban bahwa jaksa melakukan representasi publik terhadap mereka,” kata Krisna. dikatakan.
Pengacara Saka Tatal, terpidana kasus pembunuhan Vina Cirebon, mengatakan penegakan hukum harus menjunjung tinggi keadilan substantif dan tidak sekedar mengejar keadilan formal atau prosedural, serta berlandaskan nilai-nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat.
“Seperti kasus Vina Cirebon, kita harus hadir memberikan keadilan hukum, khususnya bagi rakyat kecil. Jangan sampai hukum hanya menjadi milik kelompok minoritas,” kata Krisna.
DPR dan pemerintah sebaiknya melakukan perubahan KUHAP, khususnya Pasal 263, yang mengatur perlunya memberikan kewenangan kepada jaksa untuk mengajukan perkara peninjauan kembali luar biasa. Berbeda dengan saat ini yang hanya bisa mengajukan peninjauan kembali kepada pihak yang dirugikan.
Peninjauan kembali oleh Jaksa Penuntut Umum merupakan suatu penemuan hukum sebagai langkah percepatan transformasi menuju keadilan substantif dari praktik yang terjadi selama ini yang cenderung mengutamakan keadilan formil atau prosedural.
Menurutnya, sistem peninjauan kembali KUHAP yang dirancang dengan baik dapat menciptakan sistem peradilan pidana yang adil dan memberikan kepastian hukum.
Sembilan penguji menguji tesis mantan pengacara Djoko Tjandra, yaitu Prof. Fauzie Yusuf Hasibuan, SH, M.Hum; Dr.Maryano, SH, MH, CN; Dr. Yuhelson, SH, MH; Abdul Latif, SH, MH; Kristiawanto, SH, MH; Dr.Atma Suganda, SH, MH; Prof. Dr. Dan Rono, SH, MH; Prof. Idzan Fautanu, SH, MH; dan Dr.Dr. Yuhelmansyah, SH, MH (rhs/Medan Pers) Sudah lihat video terbaru selanjutnya?
BACA ARTIKEL LAIN… Mengerikan jika hal ini membutakan mereka di Bogor.