Pasar Terapung Kalsel, Riwayat Dahulu dan Kini

author
3 minutes, 20 seconds Read

Medan Pers – Sungai yang melintasi Kalimantan Selatan (Kalsel) dulunya menjadi kehidupan perekonomian provinsi bernama Bumi Lambung Mangkurat itu. Pasar terapung ini merupakan peninggalan kejayaan peradaban sungai di tanah asli Kesultanan Banjar. 

Dilaporkan oleh Donny Muslim, Banjarmasin

Baca selengkapnya: Pekerja Lanal Banjarmasin menyasar pedagang dan nelayan di pasar sekunder

Pasar terapung sudah menjadi ciri khas Kalimantan Selatan. Di provinsi yang beribukota Banjarbaru ini terdapat dua pasar terapung yang terkenal yaitu Muara Kuin dan Lok Baintan.

Pasar Muara Kuin terletak di tepian Sungai Barito, Banjarmasin, sedangkan Lok Baintan terletak di tepi Sungai Martapura, Kabupaten Banjar.

Baca selengkapnya: Pekan Raya Khusus Kalimantan Selatan diharapkan mampu menarik 1 juta wisatawan

Sejarah mencatat kedua pasar terapung ini sudah ada sejak berabad-abad yang lalu. 

Sejarawan Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Mansyur mengatakan, pasar terapung pertama yang muncul adalah Muara Kuin pada tahun 1530. 

Baca Juga: Festival Pasar Kaki Lima Kalsel Menghipnotis Wisatawan Thailand

Mansyur mengatakan kepada Medan Pers bahwa “masa pemerintahan dimulai pada masa Kesultanan Banjar.”

Guru sejarah tersebut mengungkapkan, lokasi pasar terbaik Muara Kuin bukan di Sungai Barito, melainkan di antara pertemuan Sungai Sigaling dan Sungai Keramat.

Diduga situs tersebut terletak di dekat istana Kesultanan Banjar pada masa itu. 

Namun seiring berjalannya waktu, semakin banyak pedagang yang berpindah ke sungai besar tersebut. Pilihan mereka adalah Sungai Barito. 

Saat itu banyak pedagang dari berbagai desa yang membawa hasil pertanian dari tempatnya. Ada sayur mayur, ikan, buah-buahan dan barang bagus lainnya. 

Di pasar terapung inilah para pedagang bertemu dan bernegosiasi.

Setelah itu, mereka menyusuri sungai kecil dengan menggunakan chong kung atau chong gong untuk berjualan barang di rumah-rumah penduduk di tepian sungai. 

Mansur yang menyimak buku ‘Bandjarmasin’ karya sejarawan Idwar Salih menjelaskan, pada awal berdirinya pasar terapung, tidak ada transaksi dengan uang. 

“Di sini pakai sistem barter atau konsep bapanduk,” ujarnya. 

Barter artinya berdagang dengan cara menukarkan barang. Misalnya 1 kg beras ditukar dengan beberapa ikan yang ditangkap di air.

Sistem perdagangan besar masih dilakukan oleh para pedagang di pasar terapung.

Usia pasar terapung di Kabupaten Banjar lebih muda dibandingkan Muara Kuin.

Kemunculan pasar kaki Lok Baintan ini bertepatan dengan perpindahan Kesultanan Banjar dari Kuin di Banjarmasin ke kawasan Kayutangi di Martapura pada tahun 1612 Masehi. 

Namun kehadiran pasar Lok Betong tidak menghentikan kehadiran Muara Kuin yang terus berkembang dan bertahan hingga saat ini.

Pada tahun 1980-an, muncul ide untuk mengubah pasar terapung menjadi objek wisata.  

Ide ini lahir saat Efendi Ritonga menjabat Wali Kota Banjarmasin. Gagasan itu berlanjut hingga hari ini.  

Pemerintah Kota Banjarmasin juga membuka pasar tanah buatan di Siring, Jalan Piere Tendean pada tahun 2014.

Sebagai salah satu destinasi wisata, Pasar Terapung Siring sering dijadikan sebagai tempat diselenggarakannya berbagai acara wisata.

Setiap akhir pekan, Pemerintah Kota Banjarmasin menyelenggarakan kegiatan di Pasar Terapung Martapura. 

Sebagian besar pedagang di Pasar Sekunder Siring Tendean berasal dari Lok Baintan dan sekitarnya.  

Namun keberadaan pasar loak di pusat kota Banjarmasin tidak sebanding dengan keberadaan Muara Kuin. 

Seorang pedagang buah di Pasar Terapung Muara Kuin, Kecamatan Pahrul, mengatakan kiosnya sangat populer pada pertengahan tahun 1990an hingga awal tahun 2000an.

Hal ini disebabkan diperkenalkannya nama ‘pasar terapung’ oleh televisi khusus.

Saat itu RCTI menggunakan Pasar Terapung Kuin sebagai tempat beriklan. Bintang iklan ‘RCTI OK’ adalah seorang pedagang di Pasar Terapung Kuin bernama Noor Parida.

Pahrul menikmati reputasi pasar terapung bahkan di awal milenium.

Pahrul mengatakan, “Kami menjual buah-buahan saja dan sehari bisa menghasilkan hingga 300.000 dirham, terutama pada hari Sabtu dan Minggu.” 

Namun, ketika penyakit Covid-19 menyebar, keadaan berubah.

Warga Kecamatan Pangeran Bancarmasin ini mengatakan, jumlah pengunjung pasar pantai ini sangat sedikit karena adanya pembatasan aktivitas, termasuk larangan bepergian. 

Pahrul pun menjual tanah untuk menghidupi keluarganya. Dengan keranjangnya, ia menjual buah-buahan yang tidak pernah habis.  

Dampak pandemi Covid-19 terhadap pasar suplemen Muara Kuin masih terasa hingga saat ini. Pahrul berkata: “Lebih tenang.”

Memasuki musim liburan, aktivitas wisata di Pasar Muara Kuin kembali digelar. “Jadi, kami bersemangat (terlambat) untuk mulai berjualan,” ujarnya. 

Pahrul juga berharap pemerintah bisa terus fokus pada kondisi pasar riil seperti Muara Kuin dan Lok Baintan. 

Masalahnya, rasanya tidak membantu. Kalau pemerintah datang untuk wisata, tidak membantu. Yang ada hanya membeli produk kita lagi, ujarnya. (mcr37/Medan Pers)

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *