Medan Pers, Yogyakarta – Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid menekankan pentingnya koordinasi antara pemerintah dan perguruan tinggi untuk mendukung pemanfaatan kecerdasan buatan (AI).
Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Rabu (12/11) Pendekatan Kamadigi: Kampus, kami datang! ungkapnya dalam sebuah diskusi bernama
Baca Juga: ComDigi Selenggarakan Malam Penghargaan UMKM Level Up 2024 yang Meliputi Berbagai Sektor
Mutia mengatakan pendekatan bertahap akan menjadi strategi pemerintah menghadapi perkembangan teknologi kecerdasan buatan.
“Biasanya untuk maju, kita harus bicara dulu dengan pelanggan. Setelah paham, kita bisa meraih manfaat yang sebesar-besarnya,” ujarnya.
Baca juga: SIG yakin Precise Interlock Brick menjadi solusi tepat menjawab tantangan proyek rumah 3 juta
Oleh karena itu, masyarakat perlu memahami dan merasa nyaman dengan teknologi baru sebelum mengadopsinya sepenuhnya.
Pemerintah tidak melihat kecerdasan buatan sebagai ancaman, namun sebagai peluang dan tantangan besar.
Baca Juga: Garsi Agan Indonesia Luncurkan Auto Detailing Profesional untuk Mobil dan Sepeda Motor
Data menunjukkan bahwa AI akan menggantikan sekitar 85 juta pekerjaan pada tahun 2025, namun juga akan menciptakan 90 juta pekerjaan baru di berbagai bidang seperti pengembangan AI, ilmu data, dan kolaborasi manusia dengan AI.
“Artinya, ada sesuatu yang hilang, dan masih banyak lagi yang akan datang. “Ini merupakan peluang yang patut kita manfaatkan, khususnya generasi muda,” tambah Miutya.
Ia juga menekankan pentingnya etika dan tanggung jawab dalam pengembangan kecerdasan buatan. Dengan demikian, Indonesia menjadi negara pertama yang mempromosikan kecerdasan buatan yang beretika sesuai dengan pedoman UNESCO.
“Etika dan kreativitas harus berjalan beriringan. “Teknologi mempunyai batas dan etika adalah pendorong utama untuk memaksimalkan manfaatnya,” jelasnya.
Pemerintah mengeluarkan pedoman etika dalam bentuk surat edaran. Mulai tahun 2025, serangkaian konsultasi pemangku kepentingan akan dilakukan untuk menyempurnakan peraturan agar lebih kuat dan inklusif.
“Kami tidak akan menghambat inovasi teknologi, tapi mendorong pemanfaatannya di berbagai sektor, seperti pendidikan, kesehatan, dan transportasi,” tegas Meutia.
Oleh karena itu, Indonesia membutuhkan 9 juta talenta digital untuk menguasai teknologi digital, termasuk kecerdasan buatan, pada tahun 2030.
Miuthya menilai tantangan ini merupakan pekerjaan rumah besar bagi pemerintah. Namun ia optimis dengan dukungan akademisi, termasuk UGM.
Diskusi ini juga menyoroti perlunya kolaborasi lintas sektoral antara pemerintah, akademisi, dan industri untuk menciptakan solusi yang inklusif dan berkelanjutan.
“AI memberikan peluang besar, namun juga tanggung jawab besar. “Kolaborasi lintas sektor sangat penting untuk memastikan penggunaan teknologi ini secara bijaksana,” kata Meutya.
Meutya berharap generasi muda tidak hanya menjadi pengguna AI, tapi juga inventor yang mampu menciptakan solusi bermakna.
“Momentum ini harus dimanfaatkan semaksimal mungkin. “Mari kita bangun masa depan digital Indonesia yang inklusif dan berdaya saing global,” ujarnya (chi/Medan Pers).