Medan Pers – Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram diwisuda Juli lalu. Salah satu yang ikut dalam acara wisuda di Perguruan Tinggi Islam tersebut adalah seorang umat Hindu bernama Ni Ketut Mayoni.
Laporan oleh Edi Suryansyah, Mataram
Baca Juga: Komandan Pasibraka Tim 8 Arnold Sinaga, Kisah Perjuangan Putra Dansat Brimob Berjuang Capai Istana
Ratusan mata di auditorium UIN Mataram tertuju pada Ketut Mayoni saat perempuan asal Bali itu naik ke podium wisuda.
Tak lama kemudian, Rektor UIN Mataram Masanun Tahir memindahkan pita wisuda Ketut Mayoni dari kiri ke kanan.
Baca Juga: Sejarah Pondok Pesantren Al Muqmin Ngruki yang Dulu Menentang Pancasila, Kini Berwarna Dua Warna
Ketut Mayoni merupakan mahasiswa Magister Program Studi Manajemen Pendidikan Islam (MPI) UIN Mataram. Perempuan kelahiran 1969 ini masuk program pascasarjana UIN Mataram pada tahun 2020.
Dua tahun kemudian, Ketut Mayoni mendapat gelar cum laude. Satu-satunya perempuan di program studi yang mayoritas santrinya adalah ustadz itu berhasil meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) sebesar 3,80.
Baca selengkapnya: Pasar Terapung Kalimantan Selatan, Sejarah Dulu dan Sekarang
“Saya sangat mengapresiasi semangat belajar Mi Ni Ketut Mayoni,” kata Masnoon Tahir.
Untuk meraih gelar magister, Ketut Mayoni mempertahankan tesis tentang peran kepala sekolah dalam meningkatkan kinerja guru dan keterlibatan orang tua pada masa pandemi di SDN Sasake, Kecamatan Praya Tengah, Kabupaten Lombok Tengah. Seorang guru adalah pekerjaannya sehari-hari.
Kepada Medan Pers, Ketut Mayoni menceritakan awalnya ia memutuskan untuk melanjutkan studi S2 di UIN Mataram. Beliau lulus dari Universitas Terbuka (UT) pada tahun 2008.
Ketu juga mengajar di SD Mayoni sambil belajar. Dia ingin melanjutkan pendidikannya segera setelah lulus.
Namun Ketut Mayoni disibukkan dengan berbagai pekerjaan. Ia hanya punya sedikit waktu luang setelah dilantik menjadi kepala SD Negeri 2 Batunyala tiga tahun lalu.
Ketut Mayoni mulai memikirkan program pascasarjananya. Sebagai kepala sekolah, ia mulai memikirkan bagaimana menjaga lingkungan pendidikan.
Sehingga Ketut Mayoni berharap bisa mendapatkan gelar master di bidang manajemen. Keputusannya bersifat final berdasarkan keunggulannya dalam mata pelajaran lain.
Namun, Ketut Myono sedang memikirkan tempat untuk belajar untuk mendapatkan gelarnya. Dia tinggal di Praya.
Ternyata ada beberapa teman yang memberi semangat kepada Ketut Mayoni untuk melanjutkan studinya di UIN Mataram. Ia pun merasa nyaman karena jarak Praya ke Mataram tidak jauh.
Namun sebelum mendaftar di UIN Mataram, Ketut Mayoni sempat memikirkan sesuatu. Ia beragama Hindu, sedangkan perguruan tinggi tempat ia menuntut ilmu adalah kampus Islam.
“Kami mulai meminta izin kepada pihak kampus, pihak jurusan, apakah non-Muslim boleh belajar di sini,” ujarnya kepada Medan Pers, baru-baru ini.
Ternyata UIN Mataram sudah memberi lampu hijau. “Pergilah ke sana jika kamu menyetujuinya,” katanya.
Belajar di UIN Mataram membuat Ketut Mayoni dihadapkan pada mata pelajaran yang sebenarnya tidak ia ketahui. Pada semester pertama, ia mempelajari Al-Quran dan Hadits.
Ketut Mayoni bergabung dengan program studi MPI di UIN Mataram untuk fokus pada manajemen dibandingkan isu keislaman.
Ternyata dosen Alquran dan Hadits prodi MPI UIN Mataram itu tidak memaksa Ketut Mayoni untuk mengambil mata kuliah tersebut.
“Karena itu saja (Quran dan Hadits) saya tidak dipaksa untuk ikut,” ujarnya.
Sebagai minoritas, ia juga mudah menemukan keberagaman. Guru yang membimbing Ketut Mayoni menulis esai itu dermawan.
Ketut Mayoni tidak pernah didiskriminasi selama kuliah di UIN Mataram. “Saya kira toleransi di sini sangat kuat,” ujarnya.
Maka Ketuth Mayoni berharap kisah kuliahnya di UIN Mataram bisa membuka wawasan banyak orang tentang toleransi.
“Saya berharap hati semua orang lebih terbuka melihat hal ini dan membangun toleransi agar kehidupan lebih stabil,” ujarnya (Medan Pers).