Medan Pers – Senin 18 Juni 2018, berakhirnya pelayaran Senar Bangan Motorship (KM). Kini, kapal tersebut tenggelam ke dasar Danau Toba bersama ratusan penumpangnya.
Laporan Fathan Sinaga, Simalungun
Baca juga: 4 Terdakwa Segera Diadili dalam Kasus KM Sunar Bangan Karam
Sebuah monumen terlihat di depan pintu masuk Pelabuhan Tigras, Kecamatan Duluk Perdamin, Kabupaten Semalangon.
Gedung setinggi tiga bagian ini merupakan monumen peringatan tragedi KM Sunar Bangan.
Baca Juga: Danau Toba Punya Ikan Setan Merah, Edi Rahmiadi Punya Tujuh Cakra
Bagian atas tugu yang diresmikan pada 2 Mei 2019 ini berbentuk lempengan yang disusun rapat membentuk sebuah kapal.
Pesawat kecil berwarna perak ini berukuran panjang 9 meter, lebar 3,5 meter, dan tinggi 2,7 meter.
Baca Juga: KM Sunar Bangan dan Kapten Kapus Samando harus segera diadili
Arah perahu kecil menuju lokasi tenggelamnya KM Sinar Bangun adalah 2,47 derajat LU dan 98,46 BT (4.238 meter dari Pelabuhan Simanindo atau 2.627 meter dari Pelabuhan Tigaras).
Di bawahnya masih terdapat penyangga berupa beton yang sebagian besar berwarna hitam.
Penopang yang membentuk bagian kedua tugu juga dihiasi motif ulos sibolang.
Masyarakat batik menggunakan cebolang alos untuk acara duka.
Selain itu, di memorinya juga terdapat daftar nama-nama korban yang hilang dalam tragedi Sunar Bangan.
Monumen KM Sinar Bangon di Tagaras, Kabupaten Semalangon, Sumatera Utara. Gedung setinggi tiga bagian ini merupakan monumen peringatan tragedi KM Sunar Bangan. Foto: Fathan Sinaga/Medan Pers
Fondasi monumen ini dibangun sebagai amfiteater yang kini menjadi tempat peribadatan.
Akibat tragedi KM Sunar Bangan, 3 orang meninggal dunia dan 161 orang hilang.
Kecelakaan itu terjadi saat Idul Fitri.
KM Sinar Bangun dipimpin Poltak Soritua Sagala, berangkat dari Pelabuhan Samandu di Kabupaten Samosir pada pukul 16.00 WIB.
Sayangnya, kapal yang hendak menuju Pelabuhan Tigaras mengalami kegagalan kemudi pada pukul 16.45 WIB.
Saat itu, cuaca di Danau Toba sedang buruk.
Sekitar 45 menit atau pukul 17.30 WIB, KM Sunar Bangan jatuh dan tenggelam.
Kabar kejadian di KM Sinar Bangun dengan cepat tersebar saat kapal merapat di Pelabuhan Tigaras pada pukul 17.20 WIB.
Kapal tersebut juga membawa sejumlah kecil penumpang yang selamat.
Momen itu masih membekas di benak Senaga Junho. Warga Pasar Manggu, Jakarta Selatan, sedang mengunjungi kampung halamannya di Tigaras, terlibat dalam KM Senar Bangan.
Juninho yang saat itu berusia 21 tahun berdiri di tepi Danau Toba menyaksikan proses ekstraksi. Dia tampak khawatir.
Menurut Junehu, keluarga korban sangat berharap kerabatnya yang berada di KM Snar Bangan selamat dari kejadian tersebut.
Mereka berdoa untuk melihat danau itu.
“Saat itu jam lima sore, hujan turun,” kata Junino.
Pemuda yang kini berusia 25 tahun ini menuturkan, hari yang sangat kelam ketika musibah Sunar Bangan terjadi.
Hujan di danau dan tanah Tigaras.
Danau Toba juga retak. Juninho masih ingat saat itu angin bertiup sangat kencang di danau kaldera terbesar di dunia.
Warga mengunjungi Monumen KM Senar Bungan di Tagaras, Kabupaten Semalangon, Sumatera Utara. Foto: Fathan Sinaga/Medan Pers.
Bahkan, kabar kejadian KM Sunar Bangan langsung tersebar. Personel tim SAR dan relawan bersiaga di Pelabuhan Tigaras.
Namun, waktu sudah gelap. Matahari mulai terbenam, dan tim penyelamat memiliki jarak pandang yang terbatas.
Tim SAR juga harus menghadapi tantangan lain yakni hujan, angin, dan ombak kencang.
Operasi penyelamatan harus dibatalkan dan dilanjutkan keesokan harinya.
Juninho mengatakan, masyarakat Naguri Tagaras harus segera bergotong royong membantu keluarga korban.
Warga sekitar juga membangun rumahnya untuk menampung keluarga korban yang ingin beristirahat.
Menurut Junino, neneknya Sofia Sitio juga membuka rumahnya untuk mengumpulkan keluarga korban.
Pasalnya, keluarga korban kelelahan lahir dan batin saat menunggu kabar dari kerabatnya di KM Sunar Bangan.
“Di sana kami buka Grup Tigras Pedoli,” kata pria yang diketahui bernama Junior itu.
Di antara ratusan korban KM Sinar Bangun adalah Ferry Despin Panggabain.
Warga Pematangsiantar berangkat ke Samosar bersama pacarnya Mai Aparina Sergeh Sayadari.
Pak, saat itu Ferry dan Maé hendak pulang.
Pasangan ini menaiki KM Sunar Bangan, kapal terakhir dari Pelabuhan Semanando menuju Tigaras.
Akibatnya banyak penumpang yang pingsan di KM Sunar Bangan. Kapal feri tradisional juga dipenuhi tidak hanya penumpang tetapi juga sepeda motor.
Adik Feri, Morris Arisendi Panggabain mengatakan, setiap kali kakaknya bepergian jauh, dia selalu sampai di rumah setelah pukul 19.00 WIB. Namun hingga malam tanggal 18 Juni 2018, kapal feri tersebut belum juga sampai di rumah.
Hingga pukul 20.00 WIB, kapal feri tersebut belum terlihat. Keluarganya khawatir.
Saat itu, keluarga Ferry masih belum menyadari bahwa kapalnya telah tenggelam di Danau Toba.
Sekitar pukul 22.00 WIB, ibu Ferry yang sedang menyetrika mendapat panggilan telepon.
Pihak yang menghubungi keluarga Ferry adalah kerabat May.
Saat itu, keluarga Mai menanyakan apakah Feri sudah kembali ke rumah.
Selain itu, kerabat Mai juga menginformasikan adanya tenggelamnya KM Sunar Bangan.
“Ketika saya mendengar berita itu, ibu saya ketakutan,” kata Morris.
Awalnya Morris masih jauh dari rumah saat kabar tenggelamnya KM Sunar Bangan mulai tersiar. Dia masih memiliki pendapat yang baik ketika mendengar berita itu.
Namun, telepon terus berdering. Morris pulang.
Namun, saat itu Maurice memperhatikan bahwa rumah itu penuh dengan orang. Ada banyak orang yang menangis.
Seketika, emosi Maurice langsung campur aduk. Tanpa pikir panjang, ia mengambil helmnya dan mengendarai sepeda motornya menuju Tigras.
Dengan panik, Morris berjalan di sepanjang jalan yang sunyi dan berangin. Setelah sekitar satu jam dia sampai di Pelabuhan Tigras.
Tak lama kemudian, Maurice datang mencari daftar nama penumpang KM Goldsmith Bingin. Dia melihat nama kakaknya dan Mai di daftar.
Suasana hati Morris memburuk. Namun, dia tetap harus memberi tahu keluarganya tentang hal itu.
Sehari, dua hari, atau seminggu, Morris tidak mendapat kabar pasti tentang kakaknya. Pada 3 Juli 2028, pemerintah membatalkan pencarian korban KM Sinar Bungan.
“Sampai SAR akhirnya memberi tahu kami bahwa pencarian akan dihentikan, seluruh keluarga menangis hari itu.
Meski sulit, Maurice dan keluarganya akhirnya harus menyadari bahwa takdir Tuhan tidak bisa dihindari. Meski demikian, pihak keluarga tetap mengenang Gabi –julukan Feri Despain Panggabian– sebagai sosok yang bisa dipercaya dan selalu melindungi sang kakak.
“Kami sering mengunjungi Danau Toba, pasti tiga atau empat kali sebulan,” kata Morris.
Memang Morris dan keluarganya sudah menerima kepergian Gabe. Namun, suasana Idul Fitri yang seharusnya meriah justru kerap menjadi momen menyedihkan bagi keluarganya.
Meski aku sendirian, ibuku sering memikirkan kakakku, apalagi saat lebaran, ketika bangun subuh, air matanya sudah mengalir, kata Morris. (tan/Medan Pers)