Medan Pers – Masjid Al-Anwar Jami di Jalan Laksamana Malahayati 100, Kelurahan Kangkung, Kecamatan Teluk Betung Selatan, Kota Bandar Lampung tampak biasa saja dari luar. Namun, ada enam saka bersejarah di dalam masjid yang selamat dari letusan gunung Krakatau.
Laporan oleh Yosephine Wulandari, Bandar Lampung
BACA JUGA: Mungsolkanas, Masjid Tertua di Bandung Tempat Bung Karno Biasa Bersujud
Warna hijau tampak menonjol di Masjid Jami Al-Anwar. Wuwungan berbentuk limas seperti Masjid Agung Demak yang memiliki arsitektur khas Majapahit.
Menaranya berada di depan kanan masjid.
BACA JUGA: Aipda Rohimah, Bismillah hingga Alhamdulillah dengan Koin Rupee
Pintu berwarna hijau dengan tulisan kuning merupakan pintu masuk masjid.
Masjid ini mempunyai sejarah yang panjang.
BACA JUGA: Petinju Ganti Gigi Menjadi Orang Kantoran, Kesenangan Mengalahkan Uang
Kanwil Departemen Agama Provinsi Lampung melalui surat keputusan nomor Wh/2/SK/147/1997 menetapkan Masjid Jami Al-Anwar sebagai masjid tertua dan bersejarah di Bandar Lampung.
Sejarah Masjid Al-Anwar Jami dimulai pada pertengahan abad ke-19.
Takmir Masjid Al-Anwar Jami, Rusdi mengatakan, tempat ibadah umat Islam itu didirikan pada tahun 1839.
Pria paruh baya itu menjelaskan, pendiri masjid tersebut adalah ulama Kesultanan Tulang yaitu Puang Haji Muhammad Soleh bin Karaeng, Daeng Muhammad Ali, KH Muhammad Said dan H Ismail.
Tentu saja Masjid Al-Anwar Jami saat didirikan tidak seperti sekarang.
Masjid Al-Anwar Jami di Jalan Laksamana Malahayati 100, Kelurahan Kangkung, Kecamatan Teluk Betung Selatan, Kota Bandar Lampung. Foto: Yosephin Wulandari/Medan Pers.
Sebelumnya, kata Rusdi, masjid tersebut masih berupa surah kecil.
Para ulama Bugis yang mendirikan surau memanfaatkannya untuk berdakwah dan mendidik masyarakat.
Syahdan, Krakatau meletus pada tahun 1883. Letusan Selat Sunda berdampak pada Surau.
Bangunan sederhana untuk beribadah dihancurkan dan rata dengan tanah.
Namun, masih ada enam tiang saka atau surau yang masih berdiri.
Lima tahun kemudian atau pada tahun 1888, para ulama dan masyarakat setempat memperbaiki surau tersebut.
“Enam pilar yang masih berdiri kokoh hingga saat ini,” kata Rusdi.
Kini saka-saka tersebut sudah dibeton dan akan menjadi bagian dari ruang utama masjid yang berukuran 25 x 30 meter.
“Enam rukun itu menunjukkan rukun iman,” kata Rusdi.
Masjid Al-Anwar Jami telah mengalami beberapa kali renovasi. Pada tahun 1962, masjid di atas lahan seluas kurang lebih 6.500 meter persegi ini direnovasi untuk memperkuat bangunan.
Sekitar enam tahun kemudian, masjid tersebut direnovasi untuk menampung jamaah yang semakin bertambah.
Rusdi menjelaskan, awalnya Masjid Al-Anwar Jami hanya mampu menampung 300 hingga 400 jamaah.
Reformasi pada tahun 1973 berupa penambahan teras selatan, utara dan timur masjid sehingga kapasitasnya mencapai 2.000 jamaah.
Menurut Rusdi, renovasi terakhir Masjid Al-Anwar Jami dimulai pada 2015 dan baru selesai dua tahun kemudian.
Atapnya diubah dari genteng biasa menjadi baja seng, ujarnya.
Saat ini, masjid yang dianggap sebagai bagian penting sejarah Islam di Lampung ini memiliki dua mihrab berbentuk huruf “U” terbalik.
Mihrab sebelah kiri untuk imam, sedangkan mihrab sebelah kanan untuk mimbar.
Semua pintu Masjid Al-Anwar Jami memiliki kisi-kisi berbentuk bulan sabit di bagian atasnya.
Rusdi mengatakan, onamen artinya masjid memancarkan cahaya kepada jamaahnya.
Anwar, dalam bahasa Arab, berarti bersinar atau memberi cahaya.
“Setiap pintu (masjid) ada dua pintu masuk,” ujarnya.
Bahkan, Masjid Al-Anwar Jami sudah berkali-kali direnovasi.
Namun, beberapa monumen bersejarah masih dilestarikan di masjid tersebut.
Di Masjid Jami Al-Anwar terdapat koleksi ratusan kitab dalam berbagai bahasa seperti Arab, Belanda bahkan Portugis.
Semua literatur berharga tersimpan rapi di perpustakaan masjid.
Masjid Jami Al-Anwar juga memiliki bedug warisan Musabaqah Tilawatil Quran Nasional (MTQ) di Way Halim, Bandar Lampung pada tahun 1988.
Al-Quran yang agung juga merupakan koleksi masjid yang paling berharga.
Rusdi mengatakan, Al-Quran merupakan koleksi tertua yang ada di Masjid Jami Al-Anwar.
Inilah sebabnya mengapa kitab suci umat Islam disimpan dalam kotak kaca.
“Al-Quran hanya ditulis dengan tangan oleh para ulama saat itu karena pada zaman dahulu belum ada mesin cetak,” ujarnya.
Artefak sejarah lainnya yang terdapat pada koleksi Masjid Al-Anwar Jami yaitu dua buah meriam.
Kedua kanon tersebut ditempatkan di depan masjid dan berfungsi untuk menandai momen berbuka puasa.
“Dulu, di masjid-masjid tidak ada sirene seperti sekarang. Suara meriam terdengar sampai ke kantor Gubernur Lampung,” kata Rusdi.
Masjid Jami Al-Anwar menjadi saksi bisu masa penjajahan Belanda, Jepang, dan Indonesia.
Masjid Jami Al-Anwar kini sering dijadikan tempat persinggahan jamaah haji dari luar Lampung.
“Masjid ini sudah terkenal sebagai masjid tertua di Lampung,” kata Rusdi.