Medan Pers – Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memiliki perusahaan studio rekaman bernama Lokananta Records. Studio yang berlokasi di Solo, Jawa Tengah ini memiliki arsip langka vinyl Genjer-Genjer, lagu-lagu yang dianggap tabu pada masa Orde Baru.
Laporan Romensy Agustino, Solo
BACA JUGA: Yuk Makan Sayur Genjer dan Dapatkan 4 Khasiat Ajaib
MASA penjajahan Jepang yang berlangsung pada tahun 1942 hingga tahun 1945 membawa penderitaan yang luar biasa bagi bangsa Indonesia. Saat itu Jepang dengan slogan ‘Nippon Pelindung Asia’ sungguh membuat rakyat menderita.
Akibat kemiskinan, masyarakat kesulitan mencari pangan. Genjer menjadi makanan sehari-hari.
BACA JUGA: Gerakan Lokananta, Studio Musik Pertama di Indonesia
Tanaman gulma banyak terdapat di sawah, rawa dan perairan dangkal. Namun salah satu jenis rumput dengan nama latin limnocharis flava menginspirasi seniman asal Banyuwangi Muhammad Arif menciptakan Genjer-Genjer.
Sebelum artis berdarah Osing itu menulis lirik Genjer-Genjer, melodi lagu tersebut sudah lebih dulu populer di Banyuwangi. Syahdan, Arif menulis puisi untuk Genjer-Genjer yang dikenal saat ini.
BACA JUGA: G30S, Front Kostrad Vs Halim, Kenapa Soeharto Tak Diculik?
Artis rekaman serba bisa Bing Slamet dan penyanyi Lilis Suryani juga menyanyikan lagu tersebut pada tahun 1965. Bing Slamet menyanyikan Genjer-Genjer untuk album ‘Ayo Bersenang-senang Bersama Irama Lenso’ yang dirilis pada April 1965.
Sedangkan Lilis Genjer-Genjer menyanyi untuk album bertajuk ‘…dia tetap di atas’ yang dirilis pada tahun 1965 sebagai penghormatan kepada Yang Mulia Bung Karno. Saat itu, lagu tersebut masih ditulis dengan ejaan lama, Gendjer-Gendjer.
Sebelum Genjer-Genjer ‘dibawa’ ke Jakarta, Kelompok Kesenian Daerah Djatim merekam lagu tersebut bersama Lokananta Records. Marketing Lokananta Records Anggit Wicaksono mengatakan, kelompok yang dipimpin Cak Abu itu merekam lagu diatonis tersebut sekitar enam bulan sebelum goro-goro pada tahun 1965.
“Rekaman Genjer-Genjer tanggal 15 Maret 1965,” ujarnya kepada Medan Pers.
Anggit menjelaskan: Arsipnya masih ada. Dalam buku catatan Lokananta tertulis: ‘Gendhing Genjer-Genjer’ direkam dengan durasi 5 menit 25 detik dengan No. Band P3/7 58.
“Lagu tersebut masuk dalam kategori Gending Jawa Timur,” ujarnya.
Namun master rekaman Genjer-Genjer sudah tidak ada lagi di Lokananta. Anggit menduga rekaman audio asli lagu tersebut telah disterilkan saat aparat Orde Baru membungkam beberapa kasus terkait Partai Komunis Indonesia (PKI).
“Penguasaannya sepertinya putus setelah G 30 S/PKI,” kata penyuka sejarah itu.
Namun masih ada piringan hitam dengan lagu Genjer-Genjer. Menurut Anggit, vinyl lagu tersebut saat ini tersimpan di arsip Lokananta.
Rekaman vinil tidak ditampilkan secara terbuka. Pengunjung yang ingin melihatnya harus mengajukan permintaan tertulis terlebih dahulu.
“Saat ini disimpan di arsip Lokananta dan tidak dipajang,” jelas Anggit.
Vinyl lagu Genjer-Genjer direkam di Lokananta Records, Solo. Gambar: Dokumentasi Lokananta.
Narasumber Harian Lokananta mengatakan, arsip Genjer-Genjer tidak mencantumkan Muhammad Arif sebagai penulisnya.
Arsip di anak perusahaan Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) menunjukkan bahwa pencipta lagu tersebut menulisnya secara anonim dengan kode N.N.
“Sa Lokananta (penulis Genjer-Genjer, red.) tidak ada nama,” tegasnya.
Bahkan ada rekaman Genjer-Genjer Lokananta yang dilepas ke pasaran. Namun pasca tragedi G 30 S/PKI, piringan hitam ditarik dari peredaran.
“Sebenarnya sudah banyak yang terjual, ada beberapa penjual online yang menjual rekamannya,” ujarnya.
Guru Etnomusikologi Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Aris Setiawan mengatakan, Genjer-Genjer awalnya bukan lagu dakwah.
Menurutnya, lirik dalam lagu tersebut tidak ada hubungannya dengan politik atau kritik langsung terhadap penguasa. “Genjer sebenarnya adalah salah satu jenis jamu yang bisa dimakan,” jelasnya
Banyak orang yang menganggap genjer sebagai makanan bagi masyarakat miskin yang tidak mampu membeli sayur-sayuran. Namun Aris tidak setuju dengan anggapan itu.
“Makan genjer sudah menjadi hal yang lumrah di kalangan warga banyuwangi. Enak juga yang terbuat dari sayur-sayuran,” ujarnya.
Popularitas Genjer-Genjer tak hanya di Banyuwangi saja. Lagu tersebut mempengaruhi seni tradisi Jawa Timur.
Genjer-Genjer versi gamelan merupakan hasil pengaruhnya terhadap seni seni musik. Terinspirasi dari lagu Genjer-Genjer, kemudian dijadikan musik Jawa Timur, kata Aris.
Saking populernya lagu tersebut, PKI pun mengadopsinya. Partai politik pengikut komunisme membentuk Lembaga Kebudayaan Rakyat Lekra.
Melalui Lekra, PKI menyerap cita-cita seni dan tradisi nusantara. Penulis naskah Genjer-Genjer juga bergabung dengan Lekra.
Genjer-Genjer rupanya juga menjadi lagu khas PKI. Lagu ini memeriahkan acara pesta yang dipimpin oleh DN Aidit.
Namun tragedi 30 September 1965 menjadi titik balik bagi PKI. TNI AD melakukan pembersihan massal terhadap siapapun yang dianggap komunis.
Pembersihan ini mencakup semua hal yang dianggap berkaitan dengan PKI, termasuk Genjer-Genjer.
“Dalam perkembangan Pak Harto tidak ada sentuhan komunis,” jelas Aris.
Pria berkacamata itu menjelaskan, puncak propaganda Orde Baru tentang Genjer-Genjer bernuansa komunis adalah penggunaan lagu tersebut dalam film Pengkhianatan G 30 S/PKI.
Lagu tersebut berlatar belakang adegan sebelum para jenderal yang diculik disiksa di Lubang Buaya, Jakarta Timur.
“Soundtracknya Genjer-Genjer, seolah-olah ritme itulah yang membunuh mereka (jendral, Red),” kata Aris yang memberikan analisanya.
Menurutnya, ketakutan memainkan lagu Genjer-Genjer masih terasa meski rezim Orde Baru tumbang.
“Lagunya bukan tentang politik, tapi dipolitisasi,” tutupnya (mcr21/Medan Pers).