Medan Pers, KOLAKA TIMUR – Sudah menjadi rahasia umum jika buaya merupakan hewan yang menakutkan, karnivora bahkan memangsa manusia. Namun, Carmuge memandang buaya tidak hanya sebagai binatang, tapi juga sebagai makhluk yang bisa diajak bicara.
Laporan La Ode Muh Deden, Kolaka Timur
Baca juga: Kisah Bu Shree yang Selamat dari Serangan Buaya dan Tenggelam di Sungai
Selasa (5/10) sore menjadi momen naas bagi Wakaling di Desa Vunguloko, Kecamatan Ladong, Kabupaten Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara (Sultra). Seorang kakek berusia 60 tahun ditelan buaya pada pukul 17.15 WITA saat sedang memasang jaring di sungai di desanya.
Penduduk setempat segera mulai mencari Vakaling. Namun upaya tersebut tidak berhasil dan masyarakat meminta bantuan kepada pihak lain.
Baca Juga: Pengantin Pria Tak Pernah Datang ke Akad Nikah dan Resepsi, Ujungnya Pahit Manis
Hilangnya Wakaling dilaporkan ke Basarna Kendar pada pukul 21.15 WITA. Syahdan dan Basarnas Kendari mengerahkan tim penyelamat Pos SAR Kolaka.
Pencarian juga melibatkan TNI, Polri, pemerintah daerah dan unsur Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sultra, Balai Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW) dan masyarakat setempat. Namun, hari sudah gelap.
Baca Juga: Noval Valentino Ditangkap Polisi Segera Setelah Turun dari Pesawat, Rupanya Ini Benar
Upaya mencari Wacaling juga tidak mudah. Banyak buaya yang hidup di tepian Sungai Vunguloko.
Pencarian tidak memberikan hasil apa pun pada hari pertama. Hasil pencariannya setara dengan tiga koin keesokan harinya juga.
Keluarga Wakaling semakin khawatir. Salah satu kerabatnya, Akas, berinisiatif mencari pawang buaya.
Setelah itu, Akas bertemu dengan Karmuji, seorang tuan tanah yang tinggal di Desa Atula, Kecamatan Ladong.
“Beliau (Karmuji) langsung menyampaikan bahwa jenazah Wakaling masih utuh, namun belum dapat ditemukan karena buaya tidak melepaskannya,” kata Akas beberapa waktu lalu saat ditemui Medan Pers di rumahnya. .
Karmuj kemudian ikut mencari jenazah Wakaling. Pada hari kedua pencariannya, pedagang buaya tersebut langsung menuju Sungai Vunguloko yang berjarak sekitar tiga kilometer dari rumahnya.
Akas mengatakan bahwa Karmuji segera menggunakan mata batinnya untuk menemukan buaya yang memakan Wakaling. Hasil pantauannya, jenazah korban tidak ditemukan pada hari itu.
Katanya buaya itu akan dilepasliarkan keesokan harinya (12/5), kata Akas kembali menggemakan ucapan Karmuji.
Sehari kemudian, Karmuji kembali ke Sungai Vunguloko. Beberapa menit kemudian, muncul seekor buaya membawa jenazah Wakaling.
Buaya itu mendekati kaki Carmuj. Saat itulah sang tutor langsung menyeret jenazah Wakaling menjauh.
“Saya langsung memegang kakinya (tubuh Wakaling) dan mengangkatnya, namun buaya tersebut tetap tidak melepaskannya,” kata Karmuji kepada Medan Pers yang tiba di rumahnya.
Carmuge pun mencoba berbicara dengan buaya yang sedang memakan penduduk tersebut. Ia meminta reptil ganas itu melepaskan jenazah Wankaling.
Lebih lanjut Karmuji juga mengatakan bahwa manusia bukanlah makanan buaya. Oleh karena itu, ia akan mengganti jenazah Wakaling dengan makanan lain.
“Saat saya menoleh ke arah buaya, saya terpeleset dan jatuh ke air,” kata Carmuzzi.
Namun, Carmuge tidak bisa berenang. Sungai tempat buaya itu berada juga dalam sehingga menenggelamkan Karmuj.
Menurut Karmuji, saat sedang tidur, ada sesuatu seperti pantat buaya yang naik ke permukaan air.
Orang kikir yang basah itu segera berhenti. Ia bergegas pulang untuk berganti pakaian dan meminta keluarga Wakaling segera mengantarkan kambing tersebut.
“Saya tidak mau bilang (kambing) itu pengganti (mayat Wakaling). Saya ucapkan sebagai ucapan terima kasih karena buaya mau menyerahkan jenazah Wakaling,” ujarnya.
Saat ini, buaya tidak mau melepaskan Wakaling. Karmuj tidak kembali ke sungai tempat buaya bersarang untuk melanjutkan ritual hingga pukul 16.00 WITA.
“Saya datang membawa seekor kambing. Buaya juga mendekati saya di sungai di tepi sungai,” kata Karmuji.
Namun, belum ada tanda-tanda keberadaan jenazah Wakaling yang terlihat. Maka Karmuji meminta pihak pencari untuk memotong tepian sungai.
Tak lama kemudian, ada warga yang mengaku melihat mayat di pepohonan kecil di sekitar sungai. “Jadi regu pencari langsung menuju ke sana dan ternyata benar itu jenazah Wakaling,” jelas Carmuji.
Setelah jenazah Wakaling ditemukan, pihak pencari meminta Karmuj segera melepaskan kambing yang hendak dimakan buaya tersebut. Namun, dia tidak serta merta memenuhi permintaan tersebut.
Carmouge punya alasan untuk ini. Menurutnya, banyak orang yang menganggap buaya hanyalah binatang.
Asumsi ini tidak berlaku untuk Carmouge. Ia berpendapat, buaya itu ibarat manusia yang menginginkan makanan yang layak.
“Kambing malang itu kalau hidup pasti menderita karena menjadi makanan buaya, ‘bahkan mungkin buaya pun tidak mau makan’,” kata Karmuji.
Akhirnya baru keesokan harinya pada jam 8 pagi, Karmuji membawa seekor kambing untuk dimakan buaya WITA. Namun, dia tidak bisa langsung membunuh buaya tersebut karena petugas datang memberikan penghormatan ke rumah Wakaling.
Karmuji baru bisa menyembelih kambing tersebut hingga pukul 10 WITA. “Saat saya sedang menyembelih seekor kambing di pinggir sungai, datang sekitar enam ekor buaya,” ujarnya.
Carmuji juga menerima sinyal lain. Seorang pria berusia 61 tahun melihat darah dari leher kambing tidak masuk ke sungai.
“Langsung dicelupkan ke dalam air, artinya (kambing) yang saya berikan kepada mereka, mereka dapat,” ujarnya.
Sebagai pedagang buaya, Carmuge sering menjumpai reptil berdarah dingin tersebut. Namun, ia tak mau menjelaskan di mana ia belajar dan siapa guru yang mengajarinya ilmu spiritual.
Carmuge bersikeras bahwa tidak seorang pun seharusnya mengatakan ini. Namun, ada cerita di balik dirinya menjadi pedagang buaya.
Seseorang yang dianggap “orang pintar” merasa mendapat kelebihan sejak usia 16 tahun. Ketika masih muda, Carmouge diminta membantu menyembuhkan orang sakit.
“Orang-orang datang mengeluh sakit dan saya bersyukur kepada Tuhan karena izin Allah mereka bisa disembuhkan melalui doa saya,” kata Karmuji.
Hingga pada suatu hari seekor buaya memasuki sawah tempat masyarakat sedang bercocok tanam. Jarak antara sawah dan sungai tempat buaya berada cukup jauh, sekitar 3 kilometer.
Penduduk mencoba mengusirnya, tetapi karnivora itu tidak bergeming. Carmouge pun turun tangan untuk mengusir buaya yang meneror penduduk tersebut.
Bukannya meluncur ke sungai, buaya itu justru malah bergerak ke arah sebaliknya. “Saya langsung teriak lagi, buaya itu lalu berbalik dan menuju sungai,” ujarnya.
Karmuji juga memiliki rekam jejak yang cukup baik dalam menangani buaya, yakni hingga akhir tahun 2021. Pada 28 Desember 2021, Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan kunjungan kerja ke Kabupaten Kolaka Timur.
Agenda Presiden Jokowi saat itu antara lain peresmian Bendungan Ladong. Bendungan tersebut menampung air dari Sungai Ladong yang dipenuhi buaya.
Sekali lagi, buaya bisa menimbulkan masalah. Oleh karena itu, pihak berwenang setempat mendatangkan dari berbagai daerah untuk mengusir buaya-buaya yang berkeliaran di sekitar lokasi peresmian.
Salah satunya adalah pekerja dari provinsi tetangga. Namun, para pelatih tidak mampu menakuti buaya tersebut.
Carmouge juga turun tangan. “Hari itu ada tutor dari berbagai daerah, bahkan yang terakhir sebelum saya berhalangan,” ujarnya.
Ketika Karmuji ingin melakukan ritual mengusir buaya, dia berdiri di depannya dan memperingatkannya.
“Dia suruh saya jangan turun, bahayanya buaya,” ucapnya menirukan pawang yang sudah menyerah.
Namun Carmuge tetap turun dan mengejar buaya tersebut karena disuruh oleh pihak berwenang setempat.
“Kalau saya tidak datang, saya pasti malu. “Kalaupun tidak berhasil, yang penting saya sudah berusaha,” ujarnya.
Baca juga: Mbak Ra Ditangkap Polisi, Kelakuan Karyawan Terhormat Sangat Memalukan
Ternyata, usaha Carmouge membuahkan hasil. “Saat saya masuk dan mengeluarkan buaya, langsung ada yang keluar, ‘setelah presiden datang’,” ujarnya (mcr6/Medan Pers).