Medan Pers – Politisi senior Partai Hanura Inas Nasrullah Zubir menyoroti data Organize Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) yang menyebut presiden ketujuh RI, Joko Widodo (Jokowi), sebagai orang paling korup. manajer.
Inas mengatakan, korupsi tergolong kejahatan luar biasa karena korupsi merupakan kejahatan yang sangat merugikan negara dan masyarakat.
BACA JUGA: Penggeledahan KPK di Rumah Hasto Ternyata Masalah OCCRP pada Jokowi?
Dampak korupsi sangat luar biasa karena berdampak pada perekonomian negara. Namun, kata dia, para haters Jokowi dan pendukung Megawati mengatakan korupsi tidak perlu bukti dan pemungutan suara ala OCCRP saja sudah cukup.
“Benarkah? Klaim bahwa korupsi tidak perlu bukti dan cukup berdasarkan pemungutan suara ala OCCRP mencerminkan sikap yang kontradiktif dan otoriter,” kata Inas dalam keterangannya, Selasa, 7 Januari 2025.
BACA JUGA: Guru honorer ini lolos PPPK namun dibatalkan Pemda Oalah
Menurut Inas, dalam sistem hukum yang adil, setiap tuduhan, termasuk korupsi, harus didasarkan pada bukti yang jelas dan kuat. Proses hukum yang terbuka dan adil merupakan landasan penting demokrasi.
Menurutnya, dalam menangani kasus korupsi, asas keadilan seperti asas praduga tak bersalah tidak boleh diabaikan hingga terbukti sebaliknya.
BACA JUGA: Pegawai database BKN non-ASN yang tergabung dalam PPPK TMS perlu mengetahui informasi ini
Asas praduga tak bersalah adalah asas hukum yang menyatakan bahwa seseorang dianggap tidak bersalah sampai terbukti bersalah, karena asas praduga tidak bersalah merupakan hak mendasar di banyak sistem hukum di berbagai negara, termasuk hukum umum dan hukum perdata.
Prinsip ini juga merupakan hak asasi manusia internasional, sebagaimana tercantum dalam Pasal 11 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, ujarnya.
Menurut Inas, pemungutan suara ala OCCRP untuk menyebutkan tokoh paling korup hanya bisa dilihat sebagai cara menilai tingkat korupsi hanya berdasarkan laporan online dan investigasi jurnalistik, namun tidak bisa menggantikan perlunya peradilan yang adil.
Dia mengatakan, tuduhan korupsi seperti yang diajukan OCCRP terhadap Jokowi tidak melalui investigasi jurnalistik yang tepat untuk memastikan hak semua pihak dihormati dan keadilan terjamin, melainkan hanya untuk kemudian dilakukan pemungutan suara melalui formulir Google dan email.
Oleh karena itu, sangat mengejutkan bahwa OCCRP tidak mempertimbangkan Pasal 11 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB, kata Inas.
Menuduh seseorang tanpa bukti yang kuat dapat merusak reputasi, menimbulkan ketidakadilan dan menimbulkan ketidakpercayaan terhadap lembaga peradilan, katanya.
Oleh karena itu, penting untuk menjaga integritas proses hukum dan memastikan bahwa semua klaim ditangani secara serius dan sesuai dengan prosedur yang berlaku secara umum.
Inas percaya bahwa tujuan proses peninjauan pemilu korupsi yang dilakukan OCCRP sebenarnya adalah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan mendorong transparansi. Namun hal ini tidak dapat menggantikan kedudukan hukum yang formal dan adil dan bahkan dapat bersifat pencemaran nama baik.
Pasal 11 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB menegaskan hak setiap orang untuk tidak bersalah sampai terbukti bersalah di pengadilan yang independen dan adil.
Oleh karena itu, meskipun tinjauan oleh lembaga seperti OCCRP dapat memberikan wawasan, tuduhan korupsi harus terus mematuhi standar hukum universal yang ketat untuk menghormati hak-hak individu, kata Inas (paks/Medan Pers) Jangan Lewatkan Video Terbaru: