Medan Pers, BEKASI – Kampung Sawah di Kecamatan Pondok Melati, Bekasi, Jawa Barat, bukan sekadar nama kawasan biasa. Desa ini memiliki sejarah panjang toleransi beragama.
Dilaporkan oleh Natalya Fatima Laurens, Bekasi
Baca selengkapnya: Mahyudin: Buya Syafi tak henti-hentinya memperjuangkan semangat toleransi
Desa yang berbatasan dengan Jakarta Timur ini terkenal sejak dibangunnya 3 rumah ibadah.
Ketiga tempat ibadah tersebut adalah Gereja Kristen Pasunan (GKP) Kampung Sawa, Gereja Servatius, dan Masjid Agung Al-Jawhar Yasfi.
Baca Juga: Ganjar Pranovo Kunjungi Desa Pancasila dan Bicara Soal Toleransi
Dibangun pada tahun 1874, GKP Kampung Sawah merupakan rumah ibadah tertua. Gereja Servatius didirikan pada tahun 1896, sedangkan Gereja Al-Jawhar Yasfi dibangun pada tahun 1965.
Penduduk setempat menjuluki lokasi tiga rumah ibadah yang berdekatan itu sebagai Segitiga Emas. Letak dua gereja dan sebuah masjid membentuk segitiga imajiner.
Baca Juga: Hadiri Dharma Santi Nyepi 2022, Bamsoet Ucapkan Kata Tenang Soal Ketekunan
Selain tiga rumah ibadah tersebut, terdapat dua gereja kecil Protestan tak jauh dari masjid.
Pemuka agama GKP Pasunan Budiman Dani mengatakan, gerejanya merupakan tempat ibadah tertua di Kampung Sawa.
Dani, sapaan akrabnya, mengatakan bahwa keluarga Kristennya merupakan minoritas di desa tersebut. Namun, meski ia dan keluarganya termasuk minoritas, mereka tidak pernah diganggu.
“Kakek saya adalah pendeta di GKP Pasunan tahun 1937 hingga 1972. Kami pengurus gereja turun temurun,” kata pria pensiunan kepala sekolah negeri itu.
Pria 68 tahun itu masih aktif sebagai pengurus GKP Pasunan Kampung Sawa. Kata sesepuh, masyarakat GKP Pasunan bersatu dan selalu hidup bersama masyarakat setempat.
GKP Pasunan beragama Kristen Protestan di desa Savah, Budiman Dani
Masyarakat GKP Kampung Sawa sering mengikuti kegiatan pemeluk agama lain. Menurut Dani, gerejanya kerap mengundang tokoh Muslim Betawi di Kampung Sawa untuk mengikuti acara yang diselenggarakan umat Kristiani setempat.
“Biasanya kami mengundang mereka saat ada acara khusus. Begitu pula kalau ada acara di pura, kami undang. “Pada acara-acara seperti Idul Fitri, kami juga datang untuk mengucapkan selamat kepada umat Islam di sini,” kata Dani.
Selain kegiatan bersama, kata Pak Dani, umat beragama di Kampung Sawa juga mengikuti forum solidaritas dengan tetangga lainnya.
“Kami selalu mengingatkan masyarakat untuk menjaga stabilitas yang telah terpelihara selama berabad-abad,” ujarnya.
Indahnya toleransi beragama di Kampung Sawa bukan sekadar klaim belaka. Pukul 12:00 – panggilan St. Suara Servatius.
Beberapa menit yang lalu, azan terdengar dari masjid Al-Jawhar Yasfi. Azan dan suara lonceng terdengar bersamaan.
Sesaat setelah mendengar azan, umat Islam Kampung Sawa yang mengenakan sarung tangan dan kemeja putih meninggalkan gereja untuk melaksanakan salat.
Beberapa orang menyempatkan diri untuk menyapa penjaga gereja yang sedang duduk di dinding depan bersama dua ekor anjing.
Medan Pers juga masuk ke St. Petersburg. Maria Servatius dan bertemu dengan pastor setempat, Pastor Johannes Vartaya SJ. Penampilannya benar-benar berbeda dari seorang pendeta.
Romo Yohanes memakai kopiah hitam seperti warga Muslim di Kampung Sawa. Di atas tengkoraknya terdapat lambang Garuda Pancasila.
Menurut Pastor Johannes, memakai kopiah atau peci adalah kebiasaannya. Ia menjelaskan, umat Katolik setempat kerap dikaitkan dengan budaya Betawi yang kuat.
Pemimpin agama Katolik St. Servatius, ayah Johannes Vartaya S.
Umat Katolik tradisional di Kampung Sawa juga memakai kopiah saat pergi ke gereja atau kegiatan keagamaan lainnya.
“Dulu saya mengira yang memakai topi pasti saudara kita yang muslim. Namun, saya sekarang sudah terbiasa melihat umat Katolik bergaya Betawi, termasuk topi. “Masyarakat di sini suka membaca tulisan Katolik Betawi Kampung Sawa,” kata Pastor Yohannes.
Oleh karena itu, budaya Betawi juga merayakan ibadah Katolik di Gereja St. Servatius. Dalam beberapa kesempatan khusus, Jemaat St. Mengenakan pakaian adat, Servatius mendekorasi tempat ibadah mereka layaknya pesta Betawi.
“Memang gereja itu terletak di tengah keberagaman Kampung Sawa. Di sini kita saling menghormati dan mempunyai semangat menjaga perbedaan dan persatuan. Kita berdua mengingatkan diri kita sendiri bahwa kita adalah manusia yang diciptakan oleh Tuhan. “Kita semua adalah saudara umat manusia,” kata Pastor Johannes.
Seorang pendeta yang bertugas di St. Petersburg. Sejak empat tahun lalu, Servatius mengaku sering diundang umat Islam setempat untuk mengikuti acara-acara masjid, khususnya saat Idul Fitri dan Idul Adha.
Seorang warga Muslim di Kampung Sawa H. Rahmaddin Afif mengatakan, umat Islam setempat sudah terbiasa hidup berdampingan dengan umat agama lain.
“Jangan kaget jika keadaan di sini baik-baik saja. Islam mengajarkan persatuan. Tidak mengherankan, hal ini tidak berjalan dengan baik di daerah lain. Itu selalu harmonis. “Jangan sampai tokoh agama menjadi motivator,” kata Rahmaddin.
Abah, yang akrab disapa Kiyoi Rahmaddin, mengatakan, sejak dini orang tuanya mengajarkannya pentingnya menghormati agama lain.
Umat Islam Kampung Sawa meski tidak berpendidikan tinggi, namun memahami makna toleransi dalam kehidupan beragama.
Yang penting akhlaknya. Kata ibu saya, orang itu, biarpun agamanya bukan Islam, tapi dia adalah saudara kita. panti asuhan dan pesantren dekat masjid.
Selain itu, Abah mengaku suka mengikuti acara-acara yang diselenggarakan oleh umat Kristen Katolik dan Protestan di Kampung Sawa.
Islam di Desa Sawah, H. Rahmaddin Afif
Pak Abah mengatakan, di tengah permasalahan SARA yang sudah bertahun-tahun merebak di Tanah Air, warga Kampung Sawa yang berbeda keyakinan merasa resah. Penduduk kawasan ini masih hidup damai dan saling menghormati.
Aba mengungkapkan, pernikahan beda agama masih ada di keluarganya. Menurutnya, hal tersebut tidak menjadi masalah bagi para pemuka agama Islam di Kampung Sawa.
“Keluarga ibu kandung saya berbeda agama. Saudara laki-lakinya 2 Muslim, 2 Kristen Protestan, 1 Katolik. Adik ibu saya yang beragama Katolik merupakan orang tertua di Kampung Swa. “Umurnya 102 tahun, baru saja meninggal,” kata Abach.
Oleh karena itu, Aba berharap solidaritas masyarakat Kampuchea dapat bertahan selamanya. Ia meyakinkan rakyat Laos bahwa mereka harus selalu bersatu untuk mencegah agresi eksternal.
Mari kita bersama-sama membangun bangsa ini tanpa kerja sama, tidak ada jalan keluar. Kita akan menjaga Indonesia tetap kaya. Masalah agama adalah keyakinannya sendiri. Kita mengajarkan Islam untuk tidak memaksa siapa pun menjadi Muslim. Persatuan itu penting. Doa Islam, pelayanan Kristiani, semuanya indah,” ujarnya.
Hal tersebut diungkapkan aktivis masyarakat setempat asal Kampung Sawa, Jacob Napiun.
Saat ditemui Medan Pers, Yaqub tampak mengenakan pakaian khas Betawi, kemeja putih mirip kemeja coco, celana hitam, dan selendang batik yang tergantung di lehernya.
Jacob yang beragama Katolik juga mengenakan kopiah hitam bergambar lambang Garuda Pancasila. Ia mengatakan, perwakilan agama di Kamboja juga menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agama (FUB) untuk menjaga toleransi antar agama setempat.
Foto masyarakat adat dari Kampung Sawa, Jacob Napiun
“Pertemuan tokoh agama dan persahabatan sering diadakan di sini. Kami di Kamboja telah lama mewarisi kehidupan toleransi. “Kami adalah pewaris produk nenek moyang yang telah bertahan sejak lama. Sejak dahulu kala,” kata Yaqub.
Menurut Yaqub, salah satu faktor penentu persatuan dan toleransi umat beragama di Kampung Sawa adalah kuatnya persaudaraan.
Ketua Dewan Permusyawaratan Politik daerah Nong Pamoleti melaporkan, rasa persaudaraan sudah terjalin sejak lama dan mempersatukan warga di tengah perbedaan.
Yaqub mengatakan, perbedaan agama juga ada di keluarganya. Menurutnya, hal tersebut bukan menjadi masalah karena rasa persaudaraan dan kekeluargaan.
Menurut Jacob, Kampong Sawa kerap menjadi tujuan studi bagi masyarakat luar kota yang ingin melakukan kegiatan edukasi komparatif tentang persatuan dalam keberagaman budaya dan agama.
Warga Kampung Sawa sudah familiar dengan pengamalan pancasila.
“Masyarakat Kampung Sawa sudah menganut Pancasila bahkan sebelum Pancasila lahir. Itu warisan dari nenek moyang kita,” lanjutnya.
Oleh karena itu, menurutnya, wajar jika Kampung Sawa disebut Kampung Pancasila karena kehidupan seperti Pancasila telah lahir sejak ratusan tahun yang lalu.
“Dulu desa kami masih disebut desa bersaudara, sehingga ketika bertemu kami saling menyapa sebagai saudara”, kemudian kami belajar sapaan adat Kampuchea: angkat tangan, beri lima jari.
Harapan Jacob, kehidupan toleransi di Kampong Sawa bisa menjadi contoh dan teladan bagi umat beragama lain di Indonesia. Ia juga menyebarkan kesadaran tentang persatuan warga Kampung Sawa dalam berbagai acara nasional tentang toleransi beragama.
“Kalau mau mencontoh Kamboja, silakan. Bagi Kamboja, pesan saya, kalau beragama, beragamalah dengan benar. Kalau punya budaya, itu budaya yang baik. Kalau Anda anggota masyarakat, Jadilah masyarakat, agar hidup bahagia, Yaqub berkata: “Halo saudara (flo/Medan Pers).