Medan Pers – Baru-baru ini, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) menetapkan Gamelan sebagai Warisan Budaya Takbenda Dunia (WBTB) atau Warisan Budaya Takbenda (ICH). Ada perjuangan bertahun-tahun untuk memasukkan gamelan ke dalam daftar UNESCO.
Laporan oleh Romenza Augustino, swasta
Baca Juga: Strategi Brigjen (Polri) GD Sukhianyar Dwi Putra lawan narkotika melalui aksi kemanusiaan
ATON Rustandri Mulyana sedang menyelesaikan makan siangnya di ruang makan Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta pekan lalu, Jumat (17/12), menyusul Medan Pers. Wajahnya menunjukkan kebahagiaan.
Selanjutnya ISI Wakil Dekan Fakultas Ilmu Budaya Surakarta. Gamelan bercerita tentang usulan ke UNESCO.
Baca Juga: Mengunjungi Tempat Peristirahatan Mbah Maridjan di Merapi
Menurut Anton, bibit usulan ini lahir pada tahun 2014. Ia lalu menyebut nama (alm) Rahaya Subangah yang terobsesi dengan Gamelan dan punya impian besar.
Subanga adalah seniman gamelan dan dosen di ISI Surakarta. Profesor Banga -begitu panggilan akrabnya- ingin Gamelan terdaftar di WBTB UNESCO, seperti Batik, Wayang, dan Keris.
Baca Juga: Lulusan SMK Suyanto, Pria Lamongan, Hijrah ke AS, Pulang Kampung dan Bikin Pesawat Bensin
“Pada tahun 2014, lahirlah inisiatif Profesor Banga untuk menciptakan sejarah Gamelan dan hubungannya dengan WBTB,” kata Aden.
Rektor ISI Surakartha saat itu, Profesor Sri Rochana W, kemudian membentuk panitia desain. Dengan anggota antara lain Adan Rustandri Mulyana, El Suarti, Joko Purwanto, Raji, Rustiandoro, Eko Widodo, Doib dan Kirno, Subangah mengarahkan langsung.
Namun, manajemen tim telah berubah. “Saya akhirnya ditunjuk sebagai ketua tim desain,” kata Aden.
Proses panjang pengumpulan informasi mengenai WBTB UNESCO telah dimulai. Tim mengawali upayanya dengan mengkaji bagaimana Batik dan Keris dapat dimasukkan ke dalam Daftar Warisan Budaya Internasional.
Ternyata syarat pertama suatu warisan budaya bisa masuk UNESCO adalah harus terdaftar sebagai WBTB di tingkat nasional.
“Kita harus bersaing dengan desainer terdaftar lainnya untuk memilih desain terbaik di tingkat UNESCO,” kata Aden.
Tim tidak ingin menjadi besar. Aton dan seluruh anggota tim memutuskan untuk menggunakan nama Gamelan Surakarta-Yogyakarta saat mendaftar WBTB secara nasional.
Syahdan, tim telah menyusun naskah gamelan dengan berbagai informasi detailnya. Berisi informasi tentang sejarah, etimologi, karakter, jenis alat musik dan data musik.
Selain itu, teks terkait gamelan yang diusulkan harus disertai dengan data sosial, nilai budaya, pewarisan, serta proses dan rencana pengembangan.
Salah satu syarat lain yang harus dipenuhi tim adalah membuat video gamelan berdurasi 10 menit. “Pada tahun 2014, kami berkesempatan melakukan pengiriman di Jakarta,” kata Atan.
Upaya ini mulai membuahkan hasil empat tahun kemudian. “Akhirnya Gamelan Surakarta-Yokyakarta tercatat sebagai Warisan Budaya Tak Benda tingkat nasional pada tahun 2018,” kata Atan.
Upaya tim terus berlanjut. Setahun kemudian atau pada tahun 2019, penyerahan naskah Gamelan ke UNESCO selesai.
Namun, masih ada proses sebelum itu. Aden menjelaskan, upaya masuknya gamelan ke UNESCO tidak lepas dari perbincangan informal Profesor Banga dengan Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid pada tahun 2018 lalu.
Saat itu, Hilmer menerima undangan menjadi ketua panitia seleksi salah satu mahasiswa pascasarjana ISI Surakarta. Saat itulah Profesor Banga menyampaikan keinginan dan semangatnya untuk menyelenggarakan Festival Gamelan dan mendapat pengakuan UNESCO.
“Pak Hilmer menyambut baik (gagasan Profesor Banga, catatan redaksi) dan akhirnya merekomendasikannya ke UNESCO,” kata Aden.
Pada tanggal 27 Juli 2018, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan merilis laporan peristiwa seputar gamelan yang bersaing dengan reog, tempe, Lukisan Bali Klasik dan kolintang untuk dimasukkan dalam daftar WBTB yang diusulkan oleh UNESCO.
“Akhirnya kami berlomba-lomba mempresentasikannya, yang diujikan sebanyak tiga kali oleh beberapa penguji dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,” jelas Atton.
Kabar baik datang pada 7 Agustus 2018. Melalui Keputusan Nomor 1559/E.E6/KB/2018, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan gamelan sebagai objek yang akan diserahkan ke UNESCO.
Menjelang UNESCO 2021, ada permasalahan nama yang menghantui tim saat menyusun proposal Bungkus Gamelan. Sebab gamelan tidak hanya berkembang di Surakarta dan Yogyakarta saja, namun juga di Jawa Barat, Lombok, Bali, Sumatra, dan Kalimantan.
“Waktu itu kami bilang, ‘Silahkan pakai Gamelan Indonesia atau Gamelan Indonesia’,” jelas Aden.
Kemendikbud kemudian membentuk tim baru, mempertahankan tim lama dari Surakarta.
Akhirnya dibentuklah komite bersama yang terdiri dari unsur Pusat Pengkajian Kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Balai Perlindungan Nilai Budaya (BPNB) dari Jakarta, Yogyakarta, Bali, Jawa Barat, Sumatera, dan Kalimantan. Kemudian bersama-sama melakukan penelitian Gamelan.
Atan mengatakan, tim Solow saat itu ditugaskan melakukan penelitian di Banjar (Kalimantan Selatan) dan Surabaya serta Mathura (Jawa Timur).
Dalam penelitian tersebut, tim tidak hanya mengumpulkan data baru, tetapi juga bertemu dengan masyarakat yang memiliki gamelan. Karena tim mendokumentasikan dan meminta dukungan dari komunitas peneliti.
“Banyak pertemuan yang diadakan saat itu. Akhirnya muncul kabar, bungkus!” Dia berkata sebelum tertawa.
Pada tahun 2020, pemerintah meminta kelompok tersebut untuk menerjemahkan surat dukungan yang sebelumnya ditulis dalam bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris.
Pada tanggal 15 Desember 2021, kabar baik datang dari Komite WBTB UNESCO di Paris, Perancis. Organisasi internasional ini menetapkan gamelan yang terdaftar di UNESCO sebagai WBTB Indonesia yang ke-12.
Atan tak bisa berkomentar banyak saat ditanya reaksinya. “Tentunya saya sangat bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah menggenapi upaya kami,” ujarnya dengan suara lirih.
Menurutnya, sang profesor sangat senang. Mimpi Banga menjadi kenyataan. Gamelan Maestro meninggal dunia pada 10 November 2020.
“Akhirnya mimpinya terwujud. Saya merasa senang karena kita bisa terus menunaikan amanahnya,” ujarnya (Medan Pers)
Baca artikel lainnya… bersama Ni Nyoman Sundari Rasa dari desa Melanglong Buana