Medan Pers, TERNATE – Direktur Jaringan Anti Korupsi Indonesia (IACN) Igriza Majid menanggapi tudingan teknis data riset Badan Indeks Politik Indonesia terkait Pilkada Maluku Utara (Malut).
Igriza mengaku sangat meragukan keaslian hasil pemilu yang dipimpin Burhanuddin Muhtadi karena pasangan calon Sherly Tjoanda dan Sarbin Sehe berhasil mengalahkan tiga lawannya.
BACA JUGA: Mendagri Tito Sepakat Tunda Penyaluran Bansos Saat Pilkada, Siap Keluarkan Surat Edaran
Menurut aktivis antikorupsi asal Maluku Utara, hasil survei Indeks Politik Indonesia dipertanyakan karena adanya kesenjangan antara pasangan calon dan jumlah tanggapan.
“Hasil survei, paslon ke-4 Sherly-Sarbin memimpin dengan perolehan suara 40,7 persen, disusul paslon ke-1 Husain Alting,” kata Sjah-Asrul Rasyid Ichsan dalam siaran persnya, Rabu, dengan perolehan 20,7 persen. / 11).
BACA JUGA: Usut Kasus Pencucian Uang di Maluku Utara, KPK Selidiki Mineral PT Mega Haltim
Lalu ada pasangan Muhammad Kasuba-Basri Salama (MK Bisa) sebesar 15,5% dan Aliong Mus-Sahril Thahir (AM-SAH) sebesar 10,4%.
Sedangkan 12,8% responden menyatakan tidak tahu/rahasia. “Dengan menambahkan angka-angka ini, jumlah responden akan melebihi 100 persen, khususnya 100,1 persen.”
BACA JUGA: Polda Malut ingatkan peserta Pilkada jangan memprovokasi
Selain itu, menurut Igriza, jumlah responden bervariasi berdasarkan etnis demografi.
Ia mengatakan, ada kurang lebih tiga suku yang tingkat respons keseluruhannya hanya 99,9 persen, dan ada juga suku yang tingkat respons keseluruhannya di atas 100,1 persen.
“Misalnya Husain-Asrul secara keseluruhan tingkat suku Galela 14,2%, kemudian Aliong-Syahril 10,1%. Kemudian MK-BISA 28,0% dan Sherly-Sarbin 37,9%.
Sedangkan 9,7% responden tidak tahu atau tidak memilih. Jika dijumlahkan, jumlah respondennya kurang dari 100 persen, tepatnya hanya 99,9 persen.
Persentase yang sama juga terjadi di suku Sula, Ternate, dan suku lainnya, yakni hanya 99,9% dari akumulasi responden. Ia mengatakan, sedangkan pada suku Buton, Butung, dan Butong, angkanya melebihi 100,1%.
Aktivis muda asal Tahane ini menjelaskan, dari sudut pandang sosio-demografis, indikator-indikator yang ada di Indonesia nampaknya salah.
“Ya itu indikatornya. Basis etnis Makeang, Tidor dan Sula sengaja dikurangi. Kemudian mereka melahirkan suku-suku baru: suku Halmahera, Butung, dan Butong. Dari mana asal usul bangsa ini? “Kami belum pernah mendengar suku Malut ini,” ujarnya.
Ia menjelaskan, jika merujuk pada suku Bitung, masih bisa diartikan salah ketik.
“Ada yang di Halmahera dan Butong?” Sebab deskripsi etnisnya sudah mencakup suku Buton dan suku lainnya. “Artinya, Indikator ini seolah-olah dengan seenaknya memasukkan nama-nama etnis yang belum pernah kita dengar sebelumnya, masyarakat Maluki Utara,” jelas Igriza.
Igriza pun mempertanyakan citra pribadi yang diciptakan bukan oleh Sherly Tjoanda melainkan Sherly Laos. Mantan mahasiswa Sekolah Antikorupsi KPK mempertanyakan apakah perubahan nama Sherly sesuai aturan yang memerlukan persetujuan negara melalui penetapan pengadilan.
“Dari segi administratif, hal ini terlihat dari seluruh perkara yang diserahkan ke KPU. Apakah ada perubahan nama resmi? Kalau tidak, kuasa hukum pasangan calon,” kata Igriza. Yang lain bisa bertanya. masalah ini dari sisi hukum.
BACA ARTIKEL BERIKUTNYA… Pesan Calon Gubernur Sumut Husain Alting Sjah di Upacara Syukuran Peringatan Janji Pemuda