Medan Pers – Jalan Slamet Riyadi di Surakarta, Jawa Tengah disulap menjadi kawasan berdekatan kota yang dikenal dengan nama Solo.
Jalan Slamet Ryadi yang membentang dari Pasar Kleco hingga Bundaran Gladak merupakan pintu masuk utama Surakarta dari barat.
BACA JUGA: Hari Pahlawan, Begini Sejarah Nama Jalan Margonda di Depok
Setiap pagi, ribuan kendaraan roda dua dan roda empat, bahkan sejumlah kereta api, melewati jalan yang bertanda asma nasional itu.
Menurut Dani Saptoni, Presiden Solo Societeit, wajah anumerta Brigjen Ignasius Slamet Ryadi menjadi kebanggaan warga Surakarta.
BACA JUGA: Kok Banyak Hotel di Jalan Slamet Riyad Solo?
“Berita meninggalnya Ambon pada tahun 1950 memberikan dampak yang besar bagi masyarakat Solo, dan minat yang besar terhadap sosok Slamet Ryadi,” kata Saptoni kepada Medan Pers dalam wawancaranya.
Dani menegaskan, penamaan jalan yang melewati Taman Sriwedari bagian utara dengan nama Slamet Ryadi tidak ada kaitannya dengan politik.
BACA JUGA: Di Hari Pahlawan, Gibran ke TMP Bareng Innova, Mobil Dinasnya Ketua PKK
Menurutnya, nama Slamet Riyadi merupakan wujud rasa terima kasih masyarakat Solo kepada pemuda pemberani yang meninggal dunia di usia 23 tahun tersebut.
Nama Slamet Riyadi menggantikan nama Purwosari Weg sebelum tahun 1952. Weg adalah kata Belanda untuk jalan.
Saat itu Weg Purwosari belum menjadi jalan utama Kota Surakarta. Karena saat itu jalan utamanya adalah Jl. Dr. Radjiman sebelah utara pasar Klewer. Sekarang jalan tersebut bernama Jl. Dr. Radjiman.
Seiring berjalannya waktu Jl. Slamet Riyadi menggantikan pekerjaan Jl. Dr. Radjiman sebagai jalan raya.
“Pada masa kemerdekaan, sekitar tahun 1950, mungkin tahun 1951 atau 1952, Weg Purwosari berganti nama menjadi Slamet Riyadi,” kata Dani.
Saat itu, nama Slamet Riyad belum dikenal sebagai pahlawan. “Baru pada tahun 2007, Slamet Riyaddi dinobatkan sebagai pahlawan nasional.
Saat itu, ada alasan khusus di balik Pemkot Surakarta mengganti nama Purwosari Weg menjadi Jalan Slamet Riyadi.
Dani mengatakan, Kasunanan Surakarta nantinya membangun kereta kuda yang menghubungkan Solo dan Boyolali. Warga mempunyai lebih banyak kesempatan untuk masuk atau keluar Surakarta dengan cara ini.
“Dalam beberapa foto lama sejarah Masyarakat Solo, itu adalah jalan tanah dengan sedikit aspal. “Ada kereta kuda yang kini digunakan PT KAI untuk menjadi jalur KA Solo-Wonogiri,” kata Dani.
Karena banyak orang menggunakan Jl. Slamet Riyadi, pemerintah memperluasnya. Namun hal ini mengakibatkan hilangnya banyak artefak peninggalan pemerintah kolonial Belanda.
Dani menjelaskan, salah satu benda bersejarah yang hilang di sepanjang Jalan Slamet Riyadi adalah jalur kereta api. Jalur tersebut dipotong dari jalur KA Bengkong Purwosari.
“Sekitar tahun 2008 atau 2009 dilakukan pekerjaan pelebaran jalan. “Saat penggalian masih ada bekasnya sampai ke Kumpang, lalu ada turnaround,” kata (mcr21/Medan Pers) Simak! Video Pilihan Editor: