Medan Pers, JAKARTA – BPS memperkirakan pada tahun 2022, 67,99 persen masyarakat Indonesia akan memiliki ponsel. Kemudian pada tahun 2024, APJII mencatat 79,5 persen penduduk Indonesia sudah memiliki akses internet. Begitu pula dengan 82,6 persen warga Indonesia di daerah yang mengalami kendala internet.
Direktur kelompok Muda dan Cemas, Bayu M. Noor mengatakan, munculnya populisme digital terkait dengan peningkatan membaca masyarakat Indonesia di Internet.
BACA JUGA: Langkah Kualifikasi PPPK Natuna 2024, Pemda Upayakan Internet Berkelanjutan.
Hal itu diungkapkan Bayu saat Sekolah Tinggi Ilmu Politik dan Komunikasi Indonesia bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menggarap Internet bertajuk “Tantangan Populisme Digital di Indonesia” di Internet di Jakarta beberapa waktu lalu.
Data ini menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara yang sangat cerdas. “Hal ini membawa peluang dan tantangan,” kata Bayu, Rabu (27/11).
BACA LEBIH LANJUT: Lippo Karawaci bermitra dengan FiberStar dan CBN, untuk menyediakan internet cepat.
Menurut Bayu, permasalahan dunia digital saat ini adalah banyaknya artikel-artikel yang mengandung ujaran kebencian yang muncul pada pemilu presiden 2024 di Indonesia.
“Paling sering terjadi di Twitter, Facebook, dan Instagram. Ini membuat orang tidak bisa terhubung,” kata Bayu.
Senada dengan pendapat Bayu, Muhammad Ramadhan membahas tentang fenomena populisme digital dan perilaku pemilih di Indonesia yang disebutkan pada Pilgub DKI Jakarta 2017 dan Pilkada 2019.
“Penggunaan berita populis mempunyai ciri-ciri SARA. Ramadhan mengatakan, “Isu ini dibawa oleh pemilik media.”
Pada pemilu 2024, bangsa Indonesia menunjukkan aliansi Jokowi-Prabowo pada 2019 dan masuknya Prabowo ke dalam kabinet yang mengusung brand “kampret”.
Oleh karena itu, pada pemilu 2024, informasi publik akan tergantikan dalam “politik kebahagiaan” yang keluar dari pemberitaan.
Namun di sisi lain, populisme digital juga memberikan peluang bagi masyarakat tertindas yang sebelumnya tidak memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam politik.
Mereka dapat menggunakan media sosial untuk berbagi cerita terkait komunitas mereka, memberikan cara alternatif untuk berkomunikasi dan menyebarkan Injil.
Keberhasilan ini seringkali dibayangi oleh kekuatan populisme digital yang cenderung menyembunyikan kebenaran dan menggunakan retorika untuk mendapatkan dukungan.
“Untuk itu, memahami evolusi populisme digital di Indonesia sangat penting untuk menjaga kekuatan demokrasi dan masyarakat, sehingga kita dapat menyusun strategi yang dapat digunakan untuk melawan tantangan menghadapi populisme digital,” tutup Ramadhan. . Lihat juga video ini!