Medan Pers, Jakarta – Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Abadi Poernomo memandang skema pembebasan cukai etanol (BBN) untuk bahan bakar nabati sebagai upaya pemerintah mendorong pengembangan bioetanol.
Hal ini termasuk mengurangi perbedaan harga antara bioetanol dan bensin serta menjadikan bioetanol lebih menarik bagi bisnis.
Baca juga: Uji Coba Bensin Etanol Dimulai, Direktur Utama PTPN III: Ini Bentuk ESG Sejati
“Saat ini harga bioetanol dalam satu liter berkisar Rp 14 ribu. Oleh karena itu, persoalan cukai perlu diselesaikan. Kita berharap dengan cara ini, kita bisa menjangkau para produsen etanol, termasuk pabrik gula, untuk lebih mengutamakan kepentingan dalam negeri, yaitu , bioetanol,” kata Abadi Poernomo.
Menurut Abadi, pelaku usaha enggan mengembangkan bioetanol karena tarif cukai etanol yang berkisar Rp 20.000 per liter dinilai terlalu mahal.
Baca juga: Dorong Aliran Mineral, ANTAM-PLN Sediakan Daya 150 MVA untuk Optimalkan smelter di Kolaka
Hingga saat ini, cukai masih dikenakan pada etanol atas penggunaannya sebagai bahan tambahan minuman beralkohol.
Oleh karena itu, penerapan Pajak Konsumsi Khusus terhadap etanol untuk dijadikan biofuel tentunya akan sangat memberatkan para pelaku usaha yang terlibat dalam pengembangan bioetanol.
Baca juga: SIG Salurkan Bantuan untuk Usaha Mikro dan Infrastruktur Pertanian di Jawa Timur
Padahal, sesuai Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional (RPP) yang akan segera disahkan menjadi PP, pelaku usaha tidak diperbolehkan menaikkan harga jual bioetanol saat dipasarkan ke masyarakat.
Jadi harganya sama. Kalau bioetanol ditambah BBM dan dicampur, harga jualnya tetap sama. Misalnya sekitar Rp 12 ribu. Abadi bilang, Ini tidak akan berubah.
Penghapusan cukai ini diharapkan dapat memberikan dampak positif terhadap upaya promosi bioetanol sebagai biofuel.
Menurut Abadi, pengembangan bioetanol diharapkan dapat mendukung target net zero emisi (NZE) pada tahun 2026 sekaligus mengurangi impor bahan bakar.
“Kalau kita melihat keberhasilan energi baru terbarukan, seharusnya sudah mencapai 23 persen setelah tahun 2025. Namun sejauh ini hanya bertahan di angka 13-14 persen. Bagaimana keberhasilan energi baru terbarukan dapat terus meningkat? “Mempromosikan penggunaan bioetanol,” kata Abadi.
Misalnya, mencampurkan 5% etanol ke dalam bahan bakar akan mengurangi impor sekitar 5 persen. “Kerugian nilai impor BBM cukup besar, namun harga per liter bioetanol tidak terlalu mahal sehingga tidak membebani konsumen,” ujarnya.