Medan Pers – “Sejak menjadi mitra Freeport Indonesia, saya banyak belajar, dan saya berterima kasih atas bimbingan Anda sehingga saya bisa menjalankan bisnis saya dan meraih hasil yang membahagiakan bersama keluarga.” Tina Komangal (43) memulai ceritanya.
Siang itu, Tina mengenakan kemeja batik dan bawahan hitam, serta Alat Pelindung Diri (APD) lengkap dengan rompi dan helm.
Baca juga: Rekam Jejak PTFI Bantu Pemberantasan TBC di Papua
Seorang perempuan asal Desa Waa Banti mengecek tanaman lada yang tersebar di kawasan MP-21 Pusat Reklamasi dan Keanekaragaman Hayati (PTFI) yang dikelola PT Freeport Indonesia (PTFI).
Pada revisi ini pada area ekor dan frontal; menanam tanaman semusim; Bidang hortikultura; Peternakan sapi Telah diubah menjadi lahan pertanian melalui berbagai program regenerasi yang melibatkan kehutanan dan perikanan air tawar.
Baca: Natal; PTFI Air and Ship Christmas 2023 dimulai
Tailing tersebut merupakan pasir sisa bijih tambang di pabrik PTFI.
Mereka disembunyikan dan dikelola di daerah dataran rendah.
Baca Juga: Masyarakat Mendukung Percepatan Adopsi AMDAL PTFI
Tina merupakan salah satu anggota suku Amungme yang bekerja sebagai kontraktor di PTFI sejak tahun 2012.
Ia dan delapan karyawannya mengelola pertanian dan kehutanan. Pekerjaannya adalah tomat. Cabai kacang panjang, terong, pepaya, Untuk menanam dan merawat pisang dan buah-buahan lainnya.
“Meski lahan pertaniannya datar, sayur-sayuran dan buah-buahan bisa tumbuh dengan baik dan aman dikonsumsi,” ujarnya.
Sebelum bergabung dengan PTFI, Tina Muda merupakan penerjemah bahasa Amungme di RS Banti.
“Saya membantu orang-orang pegunungan yang membutuhkan perawatan di rumah sakit. Kesulitan berkomunikasi dengan staf rumah sakit. “Sayalah yang membantu para petugas kesehatan menyampaikan keluhannya terhadap penyakit yang mereka derita,” kata Tina yang mengaku fasih berbahasa Indonesia di tempat kerja.
Ia bekerja sebagai penerjemah selama sembilan tahun, dan selama itu PTFI menyelenggarakan kursus bagi wirausahawan potensial dari tujuh negara berbeda di sekitar wilayah pertambangan.
“Di Freeport, Anda harus mengelola uang; mendirikan bisnis; belajar mengelola karyawan. Masyarakat Freeport seperti guru saya, mereka menemani saya sampai saya bisa bekerja,” ujarnya sambil menangis.
Sudah 12 tahun Tina bersekolah di Freeport. Berkat ketekunan dan kerja kerasnya, Tina mampu menyekolahkan anak-anaknya hingga perguruan tinggi, menyediakan rumah yang sehat bagi keluarganya, dan memiliki mobil sendiri.
“Saya kira hanya yang sekolah menengah (universitas) yang bisa dapat ini. Tapi saya bisa buktikan kalau saya bisa,” ujarnya.
Menurut Tina, kehidupan Frederikus Okoare (42) membaik sejak bergabung dengan PTFI sebagai mitra.
“Sebelum saya mulai bekerja, saya memikirkan bagaimana cara melegitimasi bisnis saya. “Setelah itu, saya bergabung dengan PTFI untuk pelatihan,” kata pria asal Chamorro ini. Setelah menjalani pelatihan ekstensif, Frederikus mendapat pekerjaan sebagai kontraktor di departemen pengelolaan lingkungan PTFI.
Frederikus bergabung dengan PTFI sebagai mitra pada tahun 2013 dan kini memiliki 18 karyawan yang semuanya merupakan warga Papua.
“Awalnya kami menanam bibit sawi, saya ditugaskan menanam pohon pinus dan bakau.”
Seiring berjalannya kemitraan, Frederikus dan timnya saat ini bekerja di Muara Ajkwa untuk mempersiapkan tailing tersebut menjadi kawasan mangrove baru.
Direktur Pembangunan Berkelanjutan dan EVP dan Hubungan Masyarakat PTFI Claus Wamafma mengatakan PTFI dalam mengoperasikan tambang tersebut, Amungme; Ia mengatakan, fokusnya adalah pada pembangunan suku Kamoro dan 5 suku terkait serta masyarakat Papua lainnya.
“Masyarakat di sekitar wilayah pertambangan menjadi prioritas. Berbagai upaya terus mereka lakukan untuk membantu PTFI tumbuh, mengembangkan usaha, dan meningkatkan kualitas hidup mereka,” kata Claus.
Dalam melanjutkan pekerjaannya; PTFI terus berkomitmen untuk menerapkan praktik penambangan yang baik untuk melakukan investasi sosial dan lingkungan yang berkelanjutan.
“PTFI melaksanakan program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat adat Amungme dan Kamoro, Dani, Damal, Mee, Moni dan Nduga pada lima suku yang terafiliasi dengan pemerintah daerah, organisasi adat, yayasan dan lain-lain.” (mcr30/Medan Pers)