Medan Pers, JAKARTA – Ahli gizi Karin Wiradarma M.Gizi, SpGK, membenarkan penggunaan air dalam wadah polikarbonat tidak akan berdampak buruk bagi kesehatan.
Hal itu ditegaskannya usai maraknya pemberitaan tentang bahaya air minum dari botol daur ulang akibat kandungan Bisphenol A (BPA).
BACA JUGA: Apakah Air Minum Dalam Kemasan Isi Ulang Aman untuk Janin? Demikian pendapat Dr. Boyke & Dokter Kandungan
“Hanya BPA yang berbahaya, tapi kalau terbuat dari plastik aman karena melalui banyak prosedur untuk menstabilkannya,” kata dr. Karin Wiradarma dalam postingan media sosial.
Ia mengatakan, air minum dari botol galon yang dapat digunakan kembali sangat aman untuk diminum.
BACA: Wah, Hasil Uji Lab Botol Air Limbah Ditemukan Mengandung Mikroplastik
Lanjutnya, meski BPA masuk ke dalam tubuh, 90 persennya akan diserap oleh hati dan diubah menjadi sesuatu yang tidak berguna dan berbahaya yang akan dikeluarkan melalui urin atau feses.
“Nah, sisanya 10 persen yang bekerja di dalam tubuh berada dalam kondisi dan batas aman menurut penelitian,” ujarnya.
BACA JUGA: Kantor Pemerintah dan Rumah Sakit Tidak Terkena Kampanye Air Galon Polikarbonat Buruk.
Dokter lulusan Universitas Indonesia ini menunjukkan bahwa BPA tidak hanya terdapat pada galon saja. Menurut dia, hal tersebut juga terdapat pada kemasan makanan dan minuman lainnya seperti kaleng, kertas panas atau kertas cetak, dan barang elektronik lainnya.
BPA awalnya digunakan dalam pembuatan plastik polikarbonat. Lanjutnya, BPA digunakan karena sifatnya yang panas, bahan kimia, dan minyak untuk memperbaiki sesuatu serta tampilannya yang transparan sehingga dipilih untuk kemasan makanan.
“Jadi BPA sangat bermanfaat dalam kehidupan kita sehari-hari dan sering digunakan sebagai wadah atau kotak makanan dan minuman,” ujarnya.
Ia menyayangkan adanya konten bias di banyak publikasi yang menutup sudut penggunaan BPA dalam kemasan kaleng. Menurutnya, persoalan memutarbalikkan ini harus segera diselesaikan dan dihentikan agar masyarakat tidak direpotkan dan diganggu.
Dr juga meminta Karin mengimbau masyarakat agar lebih berhati-hati dalam menggunakan informasi mengenai BPA. Masyarakat diminta lebih berhati-hati dan tidak menelan informasi yang diterima dari salah satu sumber agar kebenarannya bisa diselidiki lebih lanjut.
“Kita harus berpegang pada ilmu pengetahuan, kita harus memperbaharui penulis-penulis ilmu pengetahuan dan tidak hanya menggunakan media dengan informasi yang meragukan,” ujarnya mengacu pada buku berjudul Cara Memahami Informasi BPA yang diterbitkan langsung oleh Dokter Primer Koperasi Indonesia. Korporasi (Primkop IDI).
Paparan BPA pada kemasan makanan diatur oleh Badan Pengawasan Obat (BPOM) Nomor 20 Tahun 2019. Dr. Karin saat ini terpapar BPA di bawah batas yang ditetapkan BPOM, yakni 0,6 mg/kg.
Jadi kalau kita beralih dari wadah ke makanan dan minuman dan mengukur BPA di tubuh masih jauh dari batas, kalau aman sudah diatur BPOM, katanya.
Pakar Lembaga Penelitian IDI, Dr. Aditiawarman Lubis, pertama kali membantah BPA bisa menyebabkan gangguan kesehatan. Ia menjelaskan, berbagai penelitian yang ada mengenai efek BPA terhadap kesehatan manusia belum selesai sehingga diperlukan lebih banyak penelitian.
Untuk itu, dia meminta masyarakat tidak bingung dengan ketidakjelasan informasi mengenai efek BPA pada kemasan pangan. Dia meminta masyarakat menyampaikan persoalan ini kepada ahli di bidangnya tentang batas keamanan dan syarat kesesuaian kemasan produk, BPOM.
“Kalau bukti ilmiahnya tidak cukup, bijak mengambil keputusan. Percayakan pada yang ahli di bidangnya,” ujarnya (ray/Medan Pers).