Medan Pers – Warga menyambut baik keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menangkap mantan Wali Kota Jogja Haryadi Suyuti.
Kasus suap yang melibatkannya merupakan persoalan terkait penerbitan izin mendirikan bangunan (IMB) hotel dan apartemen di ibu kota Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Baca Juga: KPK Tetapkan Wali Kota Yogyakarta dan Pejabat Summarecon Agung Sebagai Tersangka
Laporan oleh M. Sukron Fitriansyah, Yogyakarta.
Seharusnya kantor Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta tutup pada Sabtu (4/6) lalu.
Baca juga: Oh, Wali Kota Yogyakarta ternyata telah ditangkap KPK terkait kasus tersebut.
Namun suasana di Balai Kota Jogja benar-benar riuh.
Jalan Kenari No.56; Muja Muju, Puluhan masyarakat berkumpul di Umbulharjo, Jogja.
Baca juga: Berapa Dolar yang Dikumpulkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari OTT Mantan Wali Kota Yogyakarta?
Seorang pria paruh baya berambut gondrong duduk bersila di depan tembok kantor Wali Kota Yogyakarta.
Banyak warga Yogyakarta yang mengenal pria ini. Namanya Dodok Putra Bangsa.
Aktivis lingkungan hidup ini diketahui konsisten menentang pembangunan hotel dan apartemen pada masa Haryadi Suyuti menjabat di Pemkot Jogja.
Di bawah terik matahari, Dodok mengucapkan terima kasih atas langkah KPK menangkap Haryadi.
Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan mantan Wali Kota Jogja itu sebagai tersangka suap proyek apartemen Royal Kedah Tan.
Pada hari itu Aktivis yang dikenal konservatif terhadap ruang publik di Yogyakarta ini membiarkan rambut panjangnya dipotong pendek.
Mencukur rambut adalah cara Dodo membalas sumpahnya.
“Rambut ini adalah lambang mahkota. Mahkota Jogja Tentu saja, Itu tanggung jawab kepala daerah,” kata Dodok.
Seorang aktivis Dodok Putra Bangsa mencukur rambutnya di depan Balai Kota Yogyakarta, Sabtu (6 April). KPK merupakan wujud terima kasih atas kampanye cukur rambut atas penangkapan mantan Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti. Foto: M. Syukron Fitriansyah/Medan Pers.
Trotoar tempat rambut aktivis “Jogja Ora Didol” itu dipotong rekannya.
Dodok yang terlihat mengenakan Surjan mengungkapkan harapannya untuk kesejahteraan masyarakat Yogyakarta.
“Penting untuk dicatat bahwa saya akan meninggalkan Corona dan memulai sesuatu yang baru, karena di Corona ada otak untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” kata Dodok.
Haryadi Suyuti yang memimpin Jogja selama dua tahun meninggal dunia pada 22 Mei. Ia mengakhiri masa jabatannya pada tahun 2022.
Namun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap mantan Ketua DPD Golkar Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) itu pada Kamis (2/6).
Pada masa kepemimpinan Haryadi Suyuti di Jogja; Pembangunan hotel di Gudeg sudah sangat lumrah.
Hal ini mendorong Dodok dan kawan-kawannya melakukan serangkaian perlawanan, dan kata Jogja Ora Didol diartikan sebagai Jogja tidak untuk dijual.
Dodok tak hanya seorang aktivis, ia juga terkena dampak dari masifnya pembangunan hotel di kotanya. Jogja di rumahnya di Miliran tiba-tiba kering akibat pembangunan hotel.
Artinya, sebagian besar warga Yogyakarta tidak mempertimbangkan cara mereka mengambil air dari dalam tanah, dan akar permasalahannya adalah tata guna lahan, katanya.
Menurut Dodok, pemerintah Kota Jogja selama bertahun-tahun mengabaikan dampak pembangunan hotel terhadap ketersediaan air bagi warga.
Buktinya, sejak Haryadi menjadi Wali Kota Jogja pada 2012, pembangunan hotel semakin marak.
Dodok menilai Haryadi mengabaikan protes warga terdampak proyek tersebut.
Alih-alih menanggapi keluhan warga, pejabat Kota Jogja malah menyebut penyebab keringnya sumur adalah kemarau panjang.
Namun Dodok punya rencana lain. Ia mengatakan, setelah pembangunan hotel dihentikan, air dari sumur di wilayah tempat tinggalnya dipulihkan kembali.
“Saat masyarakat Miliran melakukan aksi tersebut, hotel ditutup dan air keluar hingga sekarang setelah delapan hari. Tidak ada masalah,” ujarnya.
Karena itu, Dodok meyakini pemerintah kota Jogja telah menyembunyikan barang-barang mudah rusak selama bertahun-tahun.
Ketika kecurigaannya terhadap rencana pembangunan hotel besar-besaran di Jogja ternyata benar, ia bersyukur dan mencukur rambutnya.
Bercanda bukanlah hal baru bagi Dodok.
Seorang aktivis sosial mandi bawah tanah pada 6 Agustus untuk menolak pembangunan hotel.
Pada tahun 2016, Syahdan Dodok mencuci logo Kantor Wali Kota Yogyakarta dengan air dari tujuh sumur dan tujuh bunga.
Akhirnya, Di tahun 2019, Dodok kencing pertanda kuat.
Warga dan rekan Dodo menilai tindakan tersebut tidak bijaksana.
Namun, kata dia, tindakannya bertujuan untuk menarik perhatian atas kebijakan pemerintah Kota Jogja yang tidak adil terhadap warga.
“Menurut nenek saya, yang paling manjur adalah buang air kecil, yang akhirnya terbukti kena (Haryadi). Artinya:
“Urin manusia lebih efektif mendeteksi aura kotor,” kata Dodok.
Jumat lalu (3 Juni); Komite Pemberantasan Korupsi menetapkan Haryadi Suyuti diduga menerima suap dari Wakil Presiden Real Estate PT Summarecon Agung Tbk Oon Nusihono.
Selain Haryadi Suyuti, Asistennya Triyanto Budi Yuwono juga menjadi tersangka. Pejabat Pemkot Jogja yang diduga dalam kasus ini adalah Nurwidhihartana (Kepala Unit Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu).
Dodok berharap terungkapnya hal tersebut bisa membuka jalan bagi upaya mendapatkan izin pembangunan berbagai hotel di Jogja. “Jika ada suap di apartemen, sisa 104 hotel harus memeriksa izin yang diberikan Komisi Pemberantasan Korupsi,” kata Dodok.
Krisis air tanah merupakan salah satu dampak nyata yang kerap dialami warga Yogyakarta yang tinggal di sekitar hotel. Persoalan ini pula yang menjadi penyebab konflik antara pemerintah kota Jogja dengan warganya.
Mohammad Pramono Hadi, Direktur Pusat Kajian Lingkungan Hidup (PSLH) Universitas Gadjah Mada (UGM), mengatakan pengembangan hotel tidak lepas dari potensi Yogyakarta sebagai destinasi wisata. Menurutnya, akses terhadap air tanah diperlukan untuk pembangunan Yogyakarta.
Pramono mengatakan, kehadiran hotel dan apartemen di Jogja menyebabkan warga sekitar kehilangan sumber air dan menimbulkan konflik.
“Masyarakat yang memakai pompa kecil menjadi perhatian, terutama di musim kemarau,” katanya.
Seorang ahli hidrologi mengatakan hotel tidak boleh menggunakan air tanah. Pramono mencontohkan Kabupaten Kulon Progo yang memiliki sistem penyediaan air minum (SPAM).
“Kulon Progo menggunakan SPAM karena penggunaan air tanah saja tidak bisa memenuhi kebutuhan operasional,” kata Pramono.
Menurut dia, sistem tersebut mengubah air permukaan atau air sungai menjadi air bersih untuk kebutuhan sehari-hari.
Sistem ini telah diterapkan di kota-kota seperti Jakarta yang kebutuhan airnya sangat tinggi.
Namun, Kota Jogja nampaknya sedang berkembang dengan mudahnya pengambilan air tanah.
Warga Kota Pelajar sebagian besar mengandalkan air bawah tanah yang menyaring air hujan di lereng Gunung Merapi.
Negara juga mendorong hotel dan apartemen untuk menggunakan air tanah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Berdasarkan hal tersebut, Pramono menilai pemerintah Kota Jogja belum siap menggantikan penggunaan air tanah untuk hotel sehingga menimbulkan konflik di masyarakat.
“Sumber air pasang surut sangat penting karena kurangnya kesiapan pemerintah kota dapat menimbulkan konflik,” katanya.
Pemerintah Kota Jogja harus menyediakan infrastruktur SPAM untuk memenuhi kebutuhan hotel dan apartemen, kata Pramono.
“Hotel-hotel sudah tidak bisa lagi memanfaatkan air tanah, tapi nyatanya ESDM (Badan Penanggung Jawab Energi dan Sumber Daya Mineral, Red.) masih memperbolehkan sumber daya air tanah,” tutupnya. (mcr25/Medan Pers) Jangan lewatkan video Pilihan Editor ini.