Bakti Basuh Kaki, Tradisi yang Sudah Jarang Dilakukan Menjelang Imlek

author
3 minutes, 26 seconds Read

Medan Pers – Banyak orang mengenal Imlek sebagai tradisi pemberian angpao. Namun, ada tradisi penuh nilai dalam penanggalan Tionghoa menjelang Tahun Baru.

Laporan Wisnu Indra Kusuma Semarang

Baca juga: Seiring Meningkatnya Kasus Covid-19, Tina Tun Rayakan Tahun Baru Imlek dengan Cara Ini

Dinding Rumah Masyarakat Buen Hayan Tong (Rasa Durm), Jalan Gang Penggir, Kota Semarang, Jawa Tengah terlihat pukul 10.00.

Hari itu, Minggu (30/1), puluhan orang berkumpul di depan rumah kawasan Pecinan.

Baca Juga: Foto Perayaan Imlek Warga Banka

Sepuluh orang tua sedang duduk di kursi merah. Ada 13 orang yang berlutut di depan mereka.

Mereka saling berhadapan dengan air mata berlinang. Semenit kemudian ritual mencuci kaki pun dimulai.

Baca Juga: Berpakaian Merah, Dion Vico Rayakan Tahun Baru Imlek Pertama Bersama Putrinya

Puluhan orang tergeletak di tanah dengan ember kecil berisi air di depannya.

Handuk kecil berwarna putih juga diletakkan di pangkuan masing-masing orang tua.

Harjanto Kusuma Haleem, Ketua Komunitas Keagamaan Ras, mengatakan banyak masyarakat yang akrab dengan perayaan Imlek dan pembagian kantong pupuk.

Namun ada nilai lain yang masih dipegang teguh oleh masyarakat Tionghoa, yakni adat mencuci kaki.

“Sebenarnya Tahun Baru Imlek adalah kembalinya ritual keluarga. Itu semacam ritual pembelajaran Konfusianisme,” kata Hargento kepada Medan Pers.

Menurutnya, praktik berbakti atau xiao jarang dilakukan dalam ajaran Konfusianisme. Meski demikian, Harjanto tetap ingin anak-anak zaman sekarang lebih mengetahui peran dan layanan orang tua.

Menjelaskan makna cuci kaki dari Xiao, Harjanto menyanyikan lagu pujian yang mencerminkan kenangannya terhadap ibunya.

Katanya: “Lagu ini selalu kumainkan di setiap pertemuan, bahkan ini juga lagu yang diderita ibuku di rumah sakit hingga akhir hayatnya.”

Puisi Fu Qing Papa mengungkapkan bakti kepada orang tua, puisi Harjanto berjudul Membasuh Kaki Orang Tua juga dibacakan pada saat upacara cuci kaki. Meski pelaksanaan ritual ini terkesan sederhana, namun suasananya justru penuh haru.

Terlihat wajah peserta dengan air mata yang mengalir akibat pembasuhan kaki. Para tamu agama lain yang menyaksikan acara tersebut pun tak kuasa menahan haru.

Emosi memuncak saat orang tua melepas kakinya. Kakinya direndam dalam ember, kulitnya dibuang.

Beberapa saat kemudian, kaki orang tuanya diangkat, lalu diletakkan di atas paha anaknya. Kemudian, kaki yang basah dikeringkan dengan handuk kecil.

Air mata tidak berhenti tumbuh ketika orang tua saling memaafkan. Sambil duduk di kursi, para orang tua meraih anak-anaknya yang sedang berlutut di lantai.

Langkah selanjutnya dalam ritual cuci kaki adalah memberikan teh kepada orang tua. Teh disajikan dalam gelas kecil berwarna merah.

Cara memberikan sesuatu sebaiknya dengan dua tangan, seperti saat berdoa. Memberikan teh merupakan tanda penghormatan orang tua kepada anak.

Namun kita tidak boleh melupakan peran dan jasa orang tua sebagai bagian dari hal tersebut, kata Harjanto.

Di Pecinan Semarang, tokoh Tionghoa tersebut menekankan bahwa cuci kaki merupakan ritual adat yang mencerminkan esensi Tahun Baru Imlek yang berfokus pada keluarga.

“Betapa beruntungnya anak-anak yang masih bisa membasuh kaki ibu atau bapaknya,” jelasnya.

Sebelum pembasuhan kaki selesai, orang tua dan anak saling berpelukan erat. Pertemuan itu diselingi dengan kata-kata permintaan maaf.

Suara orang tua itu lembut seiring dengan air mata yang mengalir. “Maafkan aku, nek, nak,” kata seorang wanita tua kepada anak-anaknya.

Namun, praktik ini tidak hanya diikuti oleh Konfusianisme Tiongkok. Ada juga masyarakat yang tinggal di komunitas Muslim dan Kristen yang mengikuti praktik ini.

Harjanto mengaku mengajak pemeluk agama lain dalam upaya menjaga silaturahmi dan saling menghargai. Ia mengatakan, agama bukanlah halangan.

Proses cuci kaki berakhir setelah para peserta dan tamu undangan Rasa Dharma menerima buah jeruk mandarin yang melambangkan buah pembawa keberuntungan.

“Jadi kalau ada masyarakat yang mau mengikuti acara seperti ini ya, hanya dari suku, agama, golongan yang berbeda, bisa menjadi wadah silaturahmi,” ujarnya.

Angelina Cynthia, salah satu peserta cuci kaki, mengaku mengikuti tradisi jelang Imlek yang diwariskan nenek moyangnya.

“Sedih sekali. Ini pertama kalinya. Rasanya seperti ditusuk,” ujarnya dengan suara terisak.

Faktanya, Angelina tidak mencuci kaki orang tuanya. Meski kedua orang tuanya masih hidup, ia memilih untuk membasuh kaki neneknya.

Oleh karena itu, Angelina harus mengantar neneknya dari Quds ke Semarang. Ia punya tujuan lain dengan membasuh kaki neneknya menjelang Tahun Baru Imlek.

Angelina ingin neneknya ikut dalam prosesi tersebut.

Perempuan 18 tahun (mcr5/Medan Pers) mengatakan: “Orang tua saya tidak perlu ikut, karena kalau nenek saya ikut, maka saya harus menikah dengan nenek saya.” Apakah Anda melihat video terakhir di bawah ini?

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *