Medan Pers, JAKARTA – Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan jumlah pengangguran di Indonesia akan mencapai 7,2 juta orang pada Februari 2024.
BPS pun mencatat angka tersebut, lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (VET) mendominasi angka pengangguran terbuka (PTT) sebesar 8,62 persen, disusul lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) sebesar 6,73 persen.
BACA JUGA: MUI Minta Respons Lelucon Wakil Gubernur Suswono yang Mendorong Janda Kaya Menikah dengan Pengangguran
Mereka yang tamat sekolah menengah atas (SMP) berjumlah 4,28 persen, dan mereka yang tamat sekolah dasar (MD) ke bawah berjumlah 2,38 persen.
TTT lulusan jenjang pendidikan tinggi yakni diploma I/II/III sebesar 4,87 persen, dan lulusan diploma IV/S1/S2/S3 sebesar 5,63 persen.
BACA JUGA: Wagub Suswono Minta Maaf Karena Janda Kaya Menikahi Pria Pengangguran
Ahmad Nur Hidayat, ekonom kawakan dan pakar kebijakan publik UPN Jakarta, mengatakan meski data menunjukkan penurunan TPT di berbagai jenjang pendidikan dibandingkan tahun lalu, namun lulusan SMK masih menjadi kelompok dengan tingkat pengangguran tertinggi.
Hal ini mencerminkan permasalahan mendasar dalam sistem pendidikan vokasi di tanah air.
Nur Hidayat, Sabtu (11/9) mengatakan, “Walaupun SMK dirancang untuk menghasilkan tenaga kerja siap pakai, namun kenyataannya banyak lulusan yang kesulitan mendapatkan pekerjaan karena keterampilan yang diperoleh tidak memenuhi persyaratan industri”.
Menurutnya, kontradiksi tersebut muncul karena kurikulum SMK seringkali tidak merespon perkembangan teknologi dan kebutuhan industri yang terus berubah dengan cepat sehingga mengakibatkan lulusan tidak mampu bersaing di pasar tenaga kerja.
Selain itu, kurangnya pengalaman kerja yang relevan menghambat praktik kerja lapangan di sekolah menengah kejuruan, karena seringkali bersifat formal dan kurang pelatihan mendalam.
Akibatnya, lulusan SMK kalah bersaing dengan pekerja berpengalaman atau lulusan universitas, dan tetap berada pada kelompok pengangguran tinggi.
Noor Hidayat menjelaskan, terbatasnya akses terhadap pendidikan tinggi mengurangi peluang lulusan vokasi untuk mengembangkan keterampilan yang spesifik dan relevan dengan kebutuhan industri.
“Pendidikan menengah kejuruan seharusnya menjadi awal dari pendidikan berkelanjutan, namun banyak lulusan SMK yang tidak mempunyai kesempatan dan dana untuk melanjutkan pendidikan tinggi sehingga memperburuk posisinya di pasar tenaga kerja,” jelas Nur Hidayat.
Nur Hidayat melanjutkan, situasi ini menciptakan lingkaran setan dimana lulusan SMK tetap berada di posisi terbawah dalam pasar kerja tanpa memiliki keterampilan lanjutan seiring dengan kemajuan teknologi.
Ia berpendapat, untuk mengatasi permasalahan tersebut, diperlukan penyempurnaan kurikulum aktual dan penguatan kerja sama dengan industri, sehingga lulusan SMK dapat memperoleh pengalaman praktik nyata dan memperoleh keterampilan yang diperlukan.
Dengan pendekatan komprehensif tersebut, diharapkan lulusan SMK tidak lagi mendominasi angka pengangguran, namun mampu bersaing di dunia kerja.
“Indonesia juga menghadapi permasalahan perekonomian lainnya, seperti menurunnya daya beli masyarakat yang berdampak buruk pada sektor bisnis online dan offline,” jelas Nur Hidayat.
Menurunnya daya beli disebabkan oleh beberapa faktor perekonomian, antara lain inflasi yang berdampak pada tingginya harga barang-barang kebutuhan pokok yang membebani masyarakat, khususnya masyarakat kelas menengah ke bawah.
Ketika harga barang dan jasa naik, pendapatan riil masyarakat menurun sehingga berdampak pada penurunan konsumsi, penggerak utama perekonomian.
Nur Hidayat (mcr10/Medan Pers) “Pendapatan yang stagnan dalam beberapa tahun terakhir memperburuk situasi ini, terutama karena biaya hidup tidak mampu mengimbangi pertumbuhan upah, sehingga semakin menekan keuangan rumah tangga.”