Medan Pers, Jakarta – Akademisi mempertimbangkan ketegangan antara China dan Taiwan hingga Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN).
Indonesia dan negara-negara anggota ASEAN lainnya telah didesak untuk mengambil langkah-langkah besar guna mengatasi ketegangan akibat meningkatnya ketegasan Tiongkok di Selat Taiwan, termasuk peningkatan aktivitas militer di wilayah tersebut dalam beberapa tahun terakhir.
Baca juga: Soal Rencana Pengenaan BMAD pada Produk Keramik Asal China, Pengamat Airlangga ingatkan, tanya
Hal tersebut disampaikan para akademisi yang menjadi narasumber dalam diskusi bertajuk “Ketegangan Selat Taiwan, Dampak Asia Tenggara terhadap Indonesia” yang diselenggarakan oleh Parmadina Public Policy Institute (PPPI) dan Indonesia Sinological Forum (FSI) pada Senin (5/). 8)
Ratih Kabinawa, akademisi Indonesia yang tinggal di Australia dan Taiwan, mengatakan penyitaan kapal nelayan Taiwan oleh penjaga pantai Tiongkok adalah contoh nyata ketegangan kedua negara.
Baca Juga: ASEAN didesak bersatu untuk melawan aktivitas agresif China
“Tiga awak kapal ikan tersebut berasal dari Indonesia. Artinya, Indonesia harus berkomunikasi dengan China dan Taiwan untuk menjamin keselamatan mereka,” ujarnya.
Ratih mengatakan ketegangan antara China dan Taiwan terkait Selat Taiwan akan berdampak serius bagi negara-negara ASEAN. Di satu sisi, hal ini akan membuka pintu persaingan negara adidaya yang tentunya akan memberikan dampak tersendiri bagi kawasan Asia Tenggara.
Baca juga: Dunia Saat Ini. Tiongkok dan Filipina sepakat untuk mengakhiri konflik di Laut Cina Selatan.
Sebaliknya, jika terjadi konflik, besar kemungkinan ASEAN akan mempunyai kubu yang kuat. Meskipun Kamboja, Laos, dan Myanmar mendukung Tiongkok, Vietnam, dan Filipina kemungkinan besar akan menentang Tiongkok, sedangkan Indonesia, Singapura, Malaysia, dan Thailand masih skeptis.
Di sisi ekonomi, Ratih menekankan pentingnya pemerintah ASEAN mengingat apa yang harus dilakukan terhadap 700.000 warganya yang saat ini bekerja atau belajar di Taiwan, 300.000 di antaranya adalah imigran asal Indonesia.
Dosen Hubungan Internasional Universitas Indonesia Proto Wardoyo Ratihi menegaskan, pemerintah Indonesia harus selalu up-to-date dan memahami keadaan ketegangan antara China dan Taiwan saat ini.
Pemahaman ini penting agar pemerintah dapat merespons dengan cepat perlindungan WNI di Taiwan.
Berbeda dengan era Xi Jinping sebelumnya, sekarang sangat sulit untuk mengetahui kapan Tiongkok akan memberikan lampu hijau, lampu kuning, atau lampu merah, kata Brodo seraya menambahkan bahwa Tiongkok adalah ancaman nyata.
Mohammad Ixan, seorang profesor hubungan internasional di Universitas Barmadina, menekankan pentingnya memperhatikan dampak ekonomi dari isu-isu terkait ketegangan antara Tiongkok dan Taiwan, dan mengatakan bahwa Ixan berkata, “Taiwan mengendalikan semikonduktor dan ekosistemnya.”
Sementara itu, Presiden FSI Johannes Herlijanto menekankan pentingnya ASEAN bersuara mengenai perkembangan lintas selat pada Agustus 2022, dan menyerukan untuk menahan diri dari tindakan provokatif.
“Seruan menentang penggunaan kekuatan militer untuk menyelesaikan masalah antara Tiongkok dan Taiwan harus terus disuarakan dengan lebih keras dan konsisten,” kata Johannes.
Ia meyakini setiap negara ASEAN harus saling mendukung dengan secara individu melawan pihak mana pun yang meningkatkan ketegangan, terutama dengan melakukan latihan militer yang agresif.(jlo/Medan Pers)
Baca artikel lainnya… FSI imbau anggota ASEAN bersatu dan kuat melawan provokasi China di LCS