Medan Pers, JAKARTA – Polri dinilai memberikan perlindungan terhadap kelompok rentan, baik perempuan maupun penyandang disabilitas, terkait penanganan kasus dugaan kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh Agus alias IWAS dan NTB.
Direktur eksekutif inisiatif CENTRA, Muhammad Hafiz, memberikan catatan mengenai perlindungan kelompok rentan yang berkonflik dengan hukum kepolisian.
BACA JUGA: TNI Kerahkan Puluhan Ribu Pasukan Bantu Polisi Jaga Keamanan Saat Natal dan Tahun Baru
Menurutnya, data menunjukkan penyandang disabilitas, khususnya perempuan, lebih rentan menjadi korban kekerasan seksual. Dalam kasus yang terjadi di NTB, seorang penyandang disabilitas justru menjadi pelakunya, dan semakin banyak korban yang melaporkan kasus serupa dengan pelaku.
Menyikapi situasi yang terjadi, khususnya pengaduan salah satu korban, Polda NTB mampu mendorong korban Agus lainnya untuk melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialaminya. Dengan Pengaduan tersebut dapat dikatakan bahwa Korban dalam kondisi nyaman dan aman untuk melaporkan tindakan kekerasan yang pernah dialaminya, kata Muhammad Hafiz dalam keterangannya, Jakarta, Rabu. (18/12).
BACA JUGA: Bea Cukai dan Polisi Gagal Kirim Rokok Ilegal ke Surabaya
Selain itu, dari proses pengusutan dan penyidikan, tampaknya penegak hukum, khususnya kepolisian, sudah memiliki perspektif yang cukup, setidaknya untuk menjamin keikutsertaan Komisi Nasional Penyandang Disabilitas NTB dalam proses tersebut.
Polisi juga memastikan hak-hak Agus sebagai penyandang disabilitas yang diduga sebagai pelaku tetap terlindungi, seperti penangguhan penahanannya, namun polisi tetap fokus pada skema pembuktian kasus dan menjaga kepentingannya. kasus. Independensi proses peradilan.
BACA JUGA: Kowani dukung Polri untuk pembentukan Dittipid PPA-PPO
“Setidaknya hal ini sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak bagi Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan,” ujarnya.
Adanya pengetahuan aparat penegak hukum yang memadai tidak lepas dari banyak hal, antara lain adanya dukungan dan kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian untuk bersikap adil dan bertanggung jawab dalam penegakan hukum khususnya kekerasan seksual.
Selain itu, upaya kepolisian membangun skema koordinasi dengan aparat penegak hukum lainnya, organisasi penyandang disabilitas, termasuk penyedia layanan, juga meningkatkan efisiensi penanganan perkara secara lebih inklusif dan partisipatif. Sejumlah pembinaan dan penguatan internal di kepolisian setidaknya terbukti cukup dalam penanganan Fall Agus dan NTB, jelasnya.
Di sisi lain, Muhammad Hafiz memberikan beberapa catatan mengenai langkah selanjutnya dalam penerapan hukum inklusif.
Diantaranya, memperkuat kebijakan kepolisian yang menjadi acuan dalam proses penegakan hukum, khususnya pada tahap penyidikan dan penyidikan.
“Kebijakan ini setidaknya menjadi pedoman bagi kepolisian dalam menghadapi situasi dimana penyandang disabilitas berkonflik dengan hukum, baik sebagai korban maupun pelaku tindak pidana,” ujarnya.
Dengan demikian, peningkatan kapasitas dan jumlah personel yang memiliki pemahaman dan keterampilan, termasuk keterampilan bahasa isyarat, sebagai prasyarat untuk mencapai sistem penegakan hukum yang inklusif.
“Peningkatan aksesibilitas dan infrastruktur serta akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas, termasuk pelaksanaan audit infrastruktur akses di seluruh satuan kerja kepolisian, penyusunan roadmap pelaksanaan dan tujuan, serta kerjasama dan partisipasi dengan organisasi penyandang disabilitas, untuk mewujudkannya,” tutupnya. (cuy/Medan Pers)
BACA ARTIKEL LAGI… Jenderal Sigit: Polri-TNI Amankan 61 Ribu Tempat Ibadah dan Rekreasi Saat Natal