Medan Pers, Jakarta – Tiji tibeh adalah filosofi Jawa yang berarti “Mati siji, mati kabeh” (satu mati, semua mati) atau “Mukti siji, mukti kabeh” (satu menang, semua menang).
Konsep tersebut dipopulerkan oleh Raden Mas Said atau dikenal dengan Pangeran Sambarnyawa, dan dalam konteks perang berarti perjuangan tanpa akhir, untuk menang atau menghadapi kekalahan bersama.
Baca juga: Timur Tengah Makin Menakutkan, Presiden Korsel Perintahkan Pengerahan Pesawat Militer
Menariknya, pandangan tersebut bisa dijadikan cerminan konflik Israel-Palestina yang terus berkecamuk.
Ada dua tafsir utama Tiji Tibeh. Yang pertama, ‘Mati siji, mati kabeh’, sering dilakukan oleh orang-orang yang emosional dan egois. Mereka berjuang mati-matian untuk mencapai tujuannya, meski harus mengorbankan orang lain di sekitarnya. Ketika gagal, mereka ingin semua orang mengalami kegagalan yang sama.
Baca juga: Israel Dibom Hizbullah, AS Parkir Dua Kapal Induk di Timur Tengah
Arti kedua adalah “mukti czi, mukti kabeh”, yang mencerminkan sikap bijaksana. Orang yang menganut prinsip ini memiliki harapan untuk masa depan, meskipun mereka tidak meraih kemenangan penuh. Mereka tidak mengorbankan orang lain dan tetap bisa bekerja sama dengan pihak pemenang untuk mencapai tujuan bersama.
Hubungan dengan konflik Israel-Palestina
Baca juga: PMKRI serukan perdamaian abadi di Timur Tengah
Dalam konteks Timur Tengah, prinsip Tiji Tibete dapat disimpulkan dari posisi yang diambil oleh para pemimpin Palestina dan Israel serta para pemimpin yang mendukung kedua otoritas tersebut.
Apalagi konflik yang awalnya hanya terfokus pada kedua negara tersebut kini telah meluas ke wilayah seperti Lebanon, Suriah, Yaman, Irak, dan Iran.
Serangan berulang-ulang Israel terhadap Gaza, Tepi Barat dan Lebanon telah memicu kemarahan di wilayah tersebut dan menarik pihak-pihak lain untuk ikut serta.
Israel disebut-sebut memiliki sekutu Iran seperti Hizbullah di Lebanon, Houthi di Yaman, dan berbagai gerakan perlawanan di Irak dan Suriah, dengan milisi yang didukung oleh kekuatan Barat termasuk Amerika Serikat (AS), Inggris, Jerman, dan Palestina.
Setahun setelah konflik bersenjata dimulai pada 7 Oktober 2023, meskipun pihak-pihak yang bertikai memecah-belah negaranya, tidak ada upaya perdamaian nyata yang terlihat.
Di Palestina, dampak serangan Israel sangat buruk. Korban tewas di Gaza telah mencapai hampir 41.900 orang, sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak, dan lebih dari 97.000 orang terluka, sementara 740 orang tewas di Tepi Barat, 1.204 orang di Lebanon dan jutaan orang meninggalkan wilayah tersebut. Negara aman dan bertetangga akibat agresi Israel.
Dalam perekonomian Palestina, antara 80 dan 96 persen aset pertanian Gaza telah hancur pada awal tahun 2024, melumpuhkan kapasitas produksi pangan di wilayah tersebut dan memperburuk tingkat kerawanan pangan yang tinggi. Kehancuran tersebut juga berdampak pada sektor swasta, dengan 82 persen bisnis, penggerak utama perekonomian Gaza, rusak atau hancur.
Produk domestik bruto (PDB) Gaza turun sebesar 81 persen pada kuartal terakhir tahun 2023, yang mengakibatkan kontraksi sebesar 22 persen untuk tahun ini secara keseluruhan.
Pada pertengahan tahun 2024, perekonomian Gaza telah menyusut hingga kurang dari seperenam kondisi pasar tenaga kerja pada tahun 2022, dengan total 306.000 orang kehilangan pekerjaan, sehingga menurunkan tingkat pengangguran di Tepi Barat dari 12,9. Tingkat sebelum konflik 32 persen.
Stabilitas keuangan pemerintah Palestina berada di bawah tekanan besar, sehingga mengancam kemampuannya untuk berfungsi secara efektif dan menyediakan layanan penting.
Kapasitas fiskal pemerintah telah menurun karena pertumbuhan PDB yang lamban, pemotongan pendapatan Israel dan penurunan tajam bantuan internasional.
Di pihak Israel, konflik internal terutama bermula dari penyanderaan keluarga oleh Hamas dalam serangan lintas batas. Mereka menuntut pemerintah, dan khususnya Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, segera menemukan solusi terkait pertukaran tawanan perang.
Sebuah jajak pendapat baru-baru ini menunjukkan bahwa hanya 14 persen warga Israel yang akan mempertimbangkan untuk tinggal di dekat perbatasan Gaza setelah perang berakhir. Hanya 27 persen yang berpendapat Israel telah “memenangkan” perang melawan Hamas, sementara 35 persen berpendapat negaranya kalah.
Terlebih lagi, perekonomian Israel mengalami kontraksi yang dalam. Perekonomian Israel tumbuh hanya 0,7 persen pada kuartal kedua tahun 2024, di bawah 3 persen yang diperkirakan oleh analis Bursa Efek Tel Aviv.
Rasio defisit anggaran terhadap PDB mencapai minus 8,3 persen pada bulan Agustus, minus 7,6 persen pada bulan Juni, minus 6,2 persen pada bulan Maret, dan minus 4,1 persen pada bulan Desember tahun lalu.
Pada bulan Agustus 2024 saja, defisit anggaran akan mencapai 12,1 miliar shekel (US$3,22 miliar, US$50,2 triliun).
Investasi asing telah mengering. 46.000 perusahaan bangkrut. Lebih dari 85.000 orang meninggalkan pasar tenaga kerja. Seperempat juta orang menjadi pengungsi internal dan kehilangan pekerjaan serta rumah.
Banyak orang meninggalkan Israel begitu saja dengan membawa tiket keberangkatan, mereka ragu untuk kembali ke Israel karena tidak percaya akan masa depan di sana.
Upaya diplomatik dan mediasi
Upaya mediasi internasional antara Israel dan Hamas terus berlanjut, terutama oleh Amerika Serikat, Qatar dan Mesir. Namun, belum ada hasil signifikan yang dicapai. Salah satu alasan utamanya adalah penolakan Netanyahu untuk menghentikan perang, meski banyak pihak yang menyerukan pertukaran tahanan dan akses bantuan kemanusiaan ke Gaza.
Netanyahu sendiri tampaknya ingin menyelesaikan masalah tersebut dengan menghancurkan seluruh kelompok perlawanan Palestina, termasuk yang didukung oleh negara-negara seperti Iran dan kelompok lain di kawasan Timur Tengah.
Iran dikenal sebagai pendukung kuat perjuangan Palestina dan terus menghadapi sanksi berat dari negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat, atas program nuklirnya.
Meski mendapat tekanan internasional, Iran terus membela Palestina.
Presiden Iran Masoud Pezhekian telah mengambil sikap tegas terhadap konflik regional, khususnya mengkritik tindakan Israel di Gaza dan Lebanon.
“Dunia harus segera menghentikan kekerasan. Gencatan senjata permanen harus dilakukan di Gaza dan Lebanon. Hentikan rezim ini (Israel) sebelum membuat kawasan dan dunia terbakar,” Pezheskian memperingatkan.
Pezheshkian menegaskan kembali usulan Teheran untuk mengadakan referendum di antara penduduk wilayah Palestina. Ia menegaskan, permasalahan yang timbul akibat pendudukan Israel hanya bisa diselesaikan dengan memberikan hak menentukan nasib sendiri kepada rakyat Palestina.
Iran dan Israel: permusuhan terbuka
Konflik antara Iran dan Israel meningkat dalam beberapa bulan terakhir.
Permusuhan antara Iran dan Israel bukan hanya soal upaya mencapai kemerdekaan Palestina atau program nuklir, namun merupakan hasil kombinasi kompleks antara ideologi, geopolitik, dan sejarah ketidakpercayaan yang panjang.
Baru-baru ini, Iran kembali melancarkan serangan rudal ke Israel, menghancurkan beberapa fasilitas militer, termasuk sistem rudal Iron Dome dan markas intelijen Mossad.
Serangan itu dipandang sebagai pembalasan atas serangan Israel terhadap sasaran Iran di Teheran, Suriah, dan Lebanon.
Israel secara resmi menyatakan akan merespons serangan Iran, namun metode, lokasi, dan waktu serangan masih dalam tahap perencanaan atau persetujuan.
Israel disebut-sebut merencanakan serangan balasan, dengan sasaran utama menyasar fasilitas minyak dan gas, istana presiden, Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei, dan markas besar Korps Garda Revolusi Islam (IRGC). Meskipun perdebatan mengenai metode dan waktu serangan terus berlanjut, Israel telah merespons serangan Iran secara agresif.
Namun, AS termasuk di antara mereka yang khawatir dengan kecerobohan Netanyahu terhadap Iran. Untuk melindungi dari tindakan tak terduga Israel terhadap Iran, pemerintahan Presiden Joe Biden telah menawarkan Israel “paket kompensasi” jika negara tersebut menahan diri untuk tidak menyerang sasaran di Iran sebagai tanggapan atas serangan roket baru-baru ini terhadap sasaran di negara Yahudi tersebut.
Para pejabat AS menawarkan Israel dukungan diplomatik yang luas serta lebih banyak bantuan militer jika Israel tidak menyerang sasaran-sasaran tertentu di Iran. Seorang pejabat senior Israel mengatakan Israel “selalu mempertimbangkan posisi Amerika Serikat dan sekutu kami dan siap mendengarkan mereka, namun akan melakukan apa pun yang diperlukan untuk melindungi warga negara dan keamanan negara.”
Masa depan Timur Tengah
Melihat perkembangan eskalasi konflik di Timur Tengah, terdapat kekhawatiran banyak pihak bahwa kawasan ini akan terjerumus ke dalam kekacauan. Permusuhan antara Iran dan Israel tidak hanya memperburuk situasi di Palestina, namun juga meningkatkan ketegangan di seluruh kawasan.
Pada akhirnya, visi Tiji Tibeh mungkin mencerminkan sikap para pemimpin Timur Tengah.
Akankah mereka memilih jalan yang saling menghancurkan, atau mencoba mencari solusi yang akan membawa perdamaian dan kesejahteraan bagi semua pihak?
Jawabannya masih belum jelas, namun dunia menunggu dengan harapan bahwa akal sehat dan perdamaian akan terwujud. (semut/dil/Medan Pers)