Medan Pers, JAKARTA – Kesadaran akan pentingnya pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) semakin meningkat, terutama di kalangan generasi muda yang tertarik pada ekonomi hijau dan penciptaan lapangan kerja ramah lingkungan.
Namun, minat tersebut masih terhambat oleh kurangnya pemahaman dan keahlian dalam mengimplementasikan SDGs.
BACA JUGA: Sejalan dengan Ekonomi Hijau, CT Corp Pasang PLTS Atap di 3 Lokasi Trans Studio Mall
“Dalam kesempatan besar ini, sebagian besar kandidat tidak memiliki kemampuan untuk mendukung. Hanya 1 dari 8 orang yang memiliki keterampilan atau kemampuan yang cukup untuk mendukung ekonomi hijau,” ujar Chairman Leadership Development & Scholarship Tanoto Foundation Michael Susanto pada acara tersebut. Konferensi SDGs tahunan 2024 (SAC 2024) bertajuk Innovation to Golden Indonesia: Integrating Quality Education, Jobs and Green Industry, di Jakarta, baru-baru ini.
Lanjutnya, sekitar 60% pekerja yang tertarik pada bidang keberlanjutan masih kurang percaya diri karena keterampilannya kurang sehingga pekerjaannya tidak bisa berkembang.
BACA JUGA: Menciptakan Model Bisnis Ekonomi Hijau, UCEC dan kemitraannya
Selain itu, banyak siswa yang masih mempertanyakan relevansi apa yang mereka pelajari dengan kebutuhan masa depan.
“Kita sering mengatakan bahwa green jobs berbeda dengan kota, terutama untuk beberapa pekerjaan. Faktanya, banyak pekerjaan yang terkait dengan ekonomi hijau,” ujarnya.
BACA JUGA: Wakil Presiden Maruf Amin tekankan penguatan kerja sama ekonomi hijau dan UMKM pada pertemuan ASEAN-RRT
Oleh karena itu, SDG Academy Indonesia (SDG AI) yang didirikan oleh Sukanto Tanoto dan Tinah Bingei Tanoto pada tahun 1981, bersama Bappenas dan UNDP mendirikan SDG AI, yang berfokus pada menghasilkan pemimpin masa depan yang jujur dan berkomitmen kuat untuk mendorong tujuan TPB/SDG’s di masa depan. Indonesia.
“Bersama-sama kita menciptakan pemimpin masa depan yang berkomitmen penuh terhadap SDGs,” ujarnya.
Michael menambahkan, SDG AI bertujuan untuk melibatkan seluruh pemangku kepentingan yaitu pemerintah, pendidik, perusahaan swasta, donor, organisasi masyarakat, dan media. Sebab, banyak permasalahan yang bisa diatasi melalui SDGs dan ekonomi hijau, namun belum ditemukan solusinya.
Misalnya, hanya 56% penduduk yang memiliki akses terhadap transportasi umum, atau 90% sampah rumah tangga berasal dari rumah tangga yang tidak dikelola dengan baik.
“Jika lulusan perguruan tinggi mempunyai visi terhadap SDGs, maka mereka akan menciptakan solusi di bidang tersebut sehingga banyak SDGs yang akan tercapai,” ujarnya.
Disebutkan juga bahwa pendidikan berkelanjutan harus dimasukkan dalam kurikulum dan pembelajaran langsung pada bidang tersebut untuk mencari solusi berbagai permasalahan nyata. Misalnya saja kemitraan Tanoto Foundation dan UNESCO yang sejak tahun 2023 telah membantu hampir 400 mahasiswa mempelajari berbagai tantangan masyarakat dan melakukan penelitian untuk merancang solusi.
“Siswa tidak hanya belajar di kelas saja, mereka juga mempunyai pengalaman belajar, belajar dengan cara yang berbeda, dibekali dengan keterampilan yang berbeda-beda,” ujarnya. (esy/Medan Pers)