Medan Pers, JAKARTA – Direktur Jenderal PP FSP RTMM-SPSI Sudarto AS mengatakan PP 28 Tahun 2024 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dan Rancangan Peraturan Kesehatan (RPMK) tentang Perlindungan Produk Tembakau. Rokok elektronik. Hal ini dapat mematikan dukungan Industri Tembakau Nasional (IHT) terhadap industri tembakau.
Sudarto mengatakan, saat ini terdapat 143 ribu anggota FSP RTMM-SPSI yang menjadi tanggungan sebagai pekerja produktif di sektor IHT.
Baca selengkapnya: Inilah pembelaan RPMK terhadap tembakau dan rokok elektrik yang mendapat kecaman
“Kebijakan ini secara terbuka akan mematikan industri tembakau nasional.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyayangkan RTMM-SPSI tidak masuk dalam kajian laporan tembakau di RPP Kesehatan.
Baca Juga: SIG dan Pelindo Perkuat Koneksi Layanan
“Padahal produk tembakau merupakan produk sah negara. Sektor IHT menjadi sumber pendapatan utama negara dan menyerap jutaan tenaga kerja,” ujarnya.
Oleh karena itu, RPP Kesehatan meminta Kementerian Kesehatan menerbitkan aturan mengenai produk tembakau.
Baca Juga: Petani Tembakau Minta Dinas Kesehatan Batalkan Raperda Kesehatan dan Revix PP 28/2024
Menurut dia, pembatasan produk tembakau dalam RPP Kesehatan banyak yang melanggar ketentuan UU Kesehatan yang tidak melarang produk tembakau sama sekali.
Sudarto mengevaluasi regulasi produk yang ada saat ini, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 (PP 109/2012).
Dia mengatakan undang-undang ini harus dipertahankan dan diperkuat, bukan diganti tanpa penyelidikan yang memadai.
Selain itu, INDEF juga tertarik dengan Kementerian dan Lembaga (K/L) IHT seperti Kementerian Perekonomian; Kementerian Perindustrian Kementerian Perdagangan Kementerian Keuangan Kementerian Tenaga Kerja Pihaknya juga mendukung diskusi antar kementerian dengan Kementerian Kesehatan. Pertanian.
“Jika kebijakan dan peraturan tersebut masih ada, kami berharap pemerintah dapat menyiapkan lapangan kerja baru bagi pekerja dengan cara lain untuk menghilangkan dana nasional,” kata peneliti di Institute for Economic and Financial Development. (INDEF), Tauhid Ahmad (chi/Medan Pers)