Medan Pers, DAMASKUS – Rezim Al-Assad yang memerintah Suriah selama lebih dari 50 tahun akhirnya berakhir.
Presiden Suriah Bashar al-Assad, yang berkuasa sejak pertengahan tahun 2000, melarikan diri setelah kekuasaannya dihancurkan oleh kelompok perlawanan anti-pemerintah.
BACA JUGA: Militan Suriah Menang, Bashar Hilang, Dinasti Assad Tumbang
Keluarga al-Assad telah memerintah Suriah sejak Hafez al-Assad menjadi presiden pada 14 Maret 1971. Presiden Suriah ke-18 ini tetap berkuasa hingga kematiannya pada 10 Juni 2000.
Sebulan setelah kematian Hafez, Bashar naik ke puncak kekuasaan sebagai presiden Suriah ke-19. Lahir pada 11 September 1965, politikus berlatar belakang dokter mata ini dianggap sebagai tokoh sentral Partai Baath yang mendominasi negara sekuler tersebut.
BACA JUGA: Bashar al Assad: Erdogan Pencuri
Sejak tahun 2011, Bashar terus menghadapi permasalahan, termasuk perang saudara yang melibatkan banyak faksi.
Arab Spring atau Arab Spring yang awalnya merupakan gerakan protes, kini berubah menjadi gelombang kekerasan, bahkan perang.
BACA JUGA: Pemimpin Iran: Serangan Israel tidak bisa dianggap remeh
Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), juga dikenal sebagai Negara Islam Irak dan Syam (ISIL), telah menjadi kekuatan yang menakutkan dalam perang saudara.
Namun dengan dukungan sekutu kuatnya, Rusia dan Iran, Bashar berhasil memusnahkan kelompok bersenjata yang menentangnya dan juga mengalahkan ISIS yang telah menduduki beberapa wilayah di Suriah.
Namun kenyataannya, tanda-tanda kekalahan Bashar dan berakhirnya rezim Assad sudah terasa setidaknya beberapa tahun lalu.
Rusia, yang memasok peralatan perang dan bahkan pasukan elit ke Suriah, telah berperang di Ukraina sejak Februari 2022.
Demikian pula, Iran yang memanjakan Bashar baru-baru ini mempunyai front lain. Penguasa negara Mulah telah menghabiskan banyak sumber daya untuk konfrontasi dengan Israel.
Sekutu Bashar lainnya yang tidak bisa berbuat lebih banyak adalah Hizbullah atau Hizbullah di Lebanon. Partai Islam Syiah juga sibuk berperang dengan Israel.
Kurang dari sebulan yang lalu, perang di Suriah kembali berkobar ketika pasukan yang setia kepada Bashar bentrok dengan kelompok militan anti-pemerintah di barat Aleppo pada 27 November 2024.
Tiga hari kemudian, yakni 30 November 2024, kelompok pemberontak berhasil merebut Aleppo dari pasukan pendukung Bashar.
Kemenangan ini membuat kekuatan anti pemerintah, khususnya Hayat Tahrir al-Sham (HTS) yang dipimpin oleh Abu Mohammad al-Jolani, terus bergerak ke kota-kota strategis.
Di hari yang sama, setelah menguasai Aleppo, pasukan perlawanan langsung berhasil menguasai seluruh provinsi Idlib.
Kamis (5/12/2024) lalu, pasukan anti-pemerintah kembali menguasai wilayah utama, yaitu Hama, setelah terlibat pertempuran sengit dengan pasukan pemerintah. Kekuasaan pemerintah terus menurun.
Pada Jumat (6/12/2024), kelompok militan bersenjata menyerang Homs sebagai sasaran berikutnya. Homs adalah kota terbesar ketiga di Suriah setelah Damaskus dan Aleppo.
Kota tua yang kaya akan peninggalan sejarah ini menjadi pintu gerbang menuju Damaskus yang notabene adalah ibu kota Suriah.
Kelompok pemberontak juga melancarkan serangan terhadap provinsi Daraa. Sekali lagi, pemberontak meraih kemenangan dan menguasai wilayah yang berbatasan dengan Yordania.
Syahdan, pada Sabtu (7/12/2024), kelompok antipemerintah berhasil menguasai Homs dan seluruh wilayah provinsi Suwayda di Suriah selatan.
Pada hari yang sama, pemberontak juga merebut provinsi Quneitra dan menguasai pusat pemerintahan setempat.
Dari Homs, mereka bergerak menuju pinggiran Damaskus dan pada sore harinya berhasil menguasai pinggiran kota.
Namun pada saat yang sama, kemampuan Bashar untuk mempertahankan kekuasaannya menjadi semakin lumpuh karena angkatan bersenjata Suriah, yang awalnya mendukungnya, telah secara efektif menarik pasukan mereka dari kantor kementerian dalam negeri dan pertahanan.
Angkatan Bersenjata Suriah juga menarik pasukannya dari Bandara Internasional Damaskus. Ketika kelompok perlawanan berhasil menguasai ibu kota Suriah, rezim Assad kehilangan kekuasaannya (Hurriyet/JPost/Medan Pers).
BACA ARTIKEL LEBIH LANJUT… Di tengah serangan Rusia, 75 WNI masih bertahan di Ukraina