Medan Pers – Condet, Kecamatan Kramat Jat, Jakarta Timur, banyak dihuni warga keturunan Arab. Namun nama Condet tetap bertahan dan tidak serta merta menjadi sat Arab.
Laporan Dekan Pahrevi, Jakarta
BACA JUGA: Irjen M Iqbal, Sukses Tur Mandalika dan Sholat di Pulau Seribu Masjid
SELASA (21 Desember) sore tak ada yang istimewa di kawasan Jalan Raya Condet, Jakarta Timur. Semuanya tampak normal, sibuk seperti biasanya.
Namun setiap orang yang datang ke kawasan Condet akan menemukan suasana berbeda.
BACA JUGA: Perjalanan Spiritual Kriss Hatta Pindah Agama
Nada khas Timur Tengah terlihat melekat pada Condet. Anda juga bisa mencium wanginya di Jalan Raya Condet.
Ya, parfum tersebut berasal dari banyak toko parfum yang letaknya hampir di sepanjang jalan. Selain itu, banyak terdapat toko alat salat dan pakaian muslim di kawasan Condet.
BACA JUGA: Suyanto, Tukang Kayu Lulusan SMK Pindah ke Amerika, Pulang Tanah Air dan Bikin Pesawat Berbahan Bakar Bensin
Di Condet, masyarakat asal Arab hidup, berkembang dan hidup berdampingan dengan masyarakat adat setempat. Wajah mereka juga terlihat khas.
Lalu kenapa banyak orang keturunan Arab di Condet?
Endi Arif, tokoh masyarakat Condet, mungkin salah satu dari sekian banyak orang yang mengetahui sejarah kedatangan orang-orang asal Arab di kawasan tersebut.
Endi mengatakan, awal mula keberadaan masyarakat keturunan Arab di Condet tidak lepas dari Masjid Al Hawi yang didirikan pada tahun 1926. Masjid di ujung utara Jalan Raya Condet ini dibangun di atas tanah wakaf.
Hampir seratus tahun lalu, seorang warga Cililitan, Jakarta Timur, menyumbangkan tanah untuk membangun masjid.
Pembangunan Masjid Syahda ini diserahkan kepada seorang ulama Timur Tengah yang berdomisili di kawasan Rawajat, Jakarta Selatan. Nama pendetanya adalah Habib Muhammad bin Ahmad Alhaddad.
“Habib Muhammad diberikan tanah wakaf untuk menjadi guru mengaji di Condet yang (tanah wakaf, Red.) dijadikan Masjid Al Hawi,” kata Andy, Jumat (24/12).
Habib Muhammad terlibat dalam dakwah dan penguatan Islam di Condet. Ia menjadikan Masjid Al Haw sebagai tempat penyebaran Islam.
“Mengumpulkan taklim, acara dakwah seperti ini, tidak bisa dipisahkan dari parfum, plester, baju muslim. Nah, di sekitar Masjid Al Hawi mulai banyak yang berjualan seperti itu,” kata Andy. .
Saat itu, karya Habib Muhammad juga menarik minat penduduk asal Arab lainnya untuk datang ke kawasan Condet. Lambat laun mereka menetap dan mencari nafkah di kawasan yang kini menjadi bagian Subdivisi Batuampar dan Balekambang.
– Pelan-pelan mereka (orang asal Arab) mulai mengembangkan dan menjual parfum, sarung, songkok, tasbih dan lain sebagainya, kata Andy.
Menurut Endi, awal kehadiran warga keturunan Arab di Condet membawa dampak positif bagi penduduk asli setempat.
“Ada dampak positif dari segi penyebaran agama Islam karena di Condet saat itu kekurangan guru, dan akhirnya dipanggil Habib Muhammad,” kata Endi.
Meski demikian, Endi menilai warga Arab di Condet saat ini cenderung mengutamakan bisnis.
“Kalau saya lihat sekarang, mereka tidak terlalu meningkatkan perekonomian masyarakat Condet. Mereka hanya datang untuk berdagang dan mengadakan pertemuan taklim,” kata Andy.
Karena itulah Andy tidak setuju jika istilah “kampung Arab” dilekatkan pada Condet. “Saat ini di Condet banyak orang Arab ya, tapi bukan berarti itu kampung Arab,” tegasnya.
Ketua Persatuan Masyarakat Betawi (RMB) Nur Ali mengamini hal tersebut. Ia justru bingung dengan banyaknya orang yang menyebut Condet sebagai kampung Arab.
“Condet bagian mana yang kampung Arabnya? Karena ada parfumnya?” kata Nur Ali.
Penduduk Alille asal Arab sama seperti para pendatang dari daerah lain yang tinggal dan menetap di Condet.
Meski demikian, Ali paham kehadiran warga keturunan Arab menambah ciri khas dan warna tersendiri di kawasan Condet.
Keberagaman suku Condet yang puluhan tahun hidup damai menjadi bukti Bhinneka Tunggal Ika.
Warga Condet Hasan bin Usman yang juga cicit dari Habib Muchsi bin Ahmad Alatas mengamini pernyataan Endi dan Nur Ali.
Menurut Hasan, kakek buyutnya merupakan ulama pertama asal Timur Tengah yang datang ke Condet untuk menyebarkan Islam.
Hasan berpendapat, istilah “kampung Arab” yang dilontarkan Condet adalah semacam salah tafsir. “Sebenarnya orang Arab yang berasal dari Arab sangat sedikit,” kata Hasan.
Nama Kampung Arab di Condet, kata Hasan, didasarkan pada toko-toko parfum yang bermunculan di kawasan tersebut. Faktanya, tidak semua toko parfum dimiliki oleh orang keturunan Arab.
“Kalau saya lihat di Condet, keturunan Arabnya hanya sekitar 15-20 persen, sisanya (pendatang) dari Jawa Barat, Kuningan,” kata Hasan.
Namun penduduk Condet yang lahir di Arab mempunyai peranan penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sejarawan Ali Anwar mengatakan, masyarakat Arab dan masyarakat adat Condet pada masa penjajahan sama-sama menjadi korban kebrutalan Belanda.
“Tanah mereka dirampas, pajak dan bea cukai sangat tinggi, dan hukuman yang terlalu berat bagi penduduk asli,” kata Anwar.
Dakwah para habaib dan ulama di Condet tidak hanya sekedar menyebarkan agama Islam. Ada perlawanan dalam ceramah mereka.
Ceramah jihad melawan kezaliman menginspirasi warga asli Condet untuk melawan penjajah. Salah satunya adalah seorang empu bernama Entong Gendut.
Pendekar Condet memanggil para pengikutnya untuk melawan penjajah. Emosi (akibat penindasan) menumpuk sehingga terjadi perlawanan dan pemberontakan, kata Anwar.
Penulis “Revolusi Bekasi” ini mengatakan Entong Gendut akhirnya diburu Belanda. Akhirnya Entong Gendu ditangkap, kata Anwar. (cr1/Medan Pers)