Medan Pers – India saat ini sedang dilanda kerusuhan agama. Di Medan, keturunan India membangun pemukiman dan hidup damai.
Laporan Finta Rahyuni, Medan
BACA JUGA: Mungsolkanas, Masjid Tertua di Bandung yang Sering Dikunjungi Bung Karno
Nama kampung Madras sudah dikenal masyarakat kota Medan dan sekitarnya. Desa ini merupakan kawasan pemukiman terluas bagi masyarakat asal India di ibu kota Sumatera Utara (Sumut).
Warga yang berkunjung ke Desa Madras atau sekedar lewat akan merasakan suasana khas India. Terletak di antara pinggiran Medan Polonia dan Medan Petisah, desa ini memiliki nuansa Bollywood.
BACA JUGA: Perdagangan Dengan India dan Amerika Akan Menguntungkan Indonesia Besar, Luar Biasa!
Luas desa Madras sekitar 10 hektar. Gerbang yang menjadi penanda masuk desa ini berdiri kokoh di Jalan KH Zainul Arifin di Kecamatan Madras Hulu.
Ada tanda di gerbang yang bertuliskan “Selamat Datang di Little India”. Perpaduan warna kuning dan warna lainnya menambah karakter India pada desa tersebut.
BACA JUGA: Bobby Nasuccion Siapkan Taman Budaya untuk Pelaku Ekonomi Kreatif Medan
Dzulmi Eldin saat menjabat Wali Kota Medan membuka pintu tersebut pada tahun 2018. Daya tarik lain dari Desa Madras adalah gerbang serupa di persimpangan Jalan Gaja Mada dan Jalan S Parman.
Orang-orang asal India berkeliaran di daerah tersebut. Beberapa dari mereka mengenakan sari.
Kawasan Desa Madras banyak mempunyai barang dan jajanan khas India. Nuansa India semakin terasa dengan hadirnya Kuil Sri Mariamman.
Tempat ibadah umat Hindu dibangun di dekat pintu gerbang masuk desa Madras. Di dekatnya terdapat gurdwara atau kuil bagi umat Sikh.
Kuil Sri Mariamman di Desa Madras, Medan. Foto: Finta Rahuni/Medan Pers
Hendri Dalimunte, sekretaris Persatuan Sejarawan Indonesia cabang Sumatera Utara, mengatakan orang India mulai datang ke Sumatera pada tahun 1873.
Mereka dibawa bekerja di perkebunan tembakau Delhi yang dirintis oleh seorang pengusaha bernama Jacobus Nienhuys.
Perkebunan tembakau yang berkembang pesat di Delhi mendorong Nienhui menarik pekerja dari wilayah lain, termasuk India.
“Konteks Madras pedesaan harus diambil dari perkebunan yang menarik minat masyarakat luar Sumatera Timur. Jadi orang-orang ini, terutama orang Tamil, orang Tionghoa, didatangkan untuk bekerja sebagai kuli atau buruh di perkebunan,” kata Hendry kepada Medan Pers.
Hendry mengatakan, orang India tidak datang langsung ke Indonesia yang masih bernama Hindia Belanda. Awalnya mereka bekerja di Singapura atau Malaysia.
Namun data sejarah menunjukkan bahwa orang India juga bergerak di bidang lain, tidak hanya di bidang perkebunan. Mereka juga merupakan pekerja pembangunan infrastruktur, pekerja transportasi, pekerja dermaga, dan lain-lain.
Karena semakin banyak pekerja yang didatangkan dari luar Pulau Sumatera, mereka berkumpul dan membentuk pemukiman sendiri. Dari situlah penduduk asal India membentuk desa Madras.
“Kantong-kantong pemukiman telah terbuka dengan meningkatnya jumlah pekerja, termasuk warga Tamil asal India, Sikh, dan Tiongkok. Otomatis mereka dikelompokkan ke dalam permukiman, kata Hendry.
Desa Madras didirikan di wilayah Kesultanan Delhi. Henri menjelaskan, pada tahun 1880, Sultan Delhi Mahmud Al Rashid memberikan tanah tersebut kepada orang India yang pindah ke Sumatera.
Awalnya Desa Madras bernama Desa Keling. Julukan “Keling” berasal dari kata “Kalinga” yang merupakan nama suatu daerah di India.
Namun nama Kampung Keling dinilai memiliki stigma negatif karena berkaitan dengan ras. Makanya India tidak punya istilah nitte karena itu rasis, kata Hendry.
Kampung Keling akhirnya berganti nama menjadi Kampung Madras. Istilah “Madras” berasal dari ibu kota Tamil Nadu, wilayah asal nenek moyang mereka.
Kini kota Madras di India telah berganti nama menjadi Chennai. “Entah siapa yang memulai (perubahan nama, Red.), lalu Keling diubah menjadi Madras untuk memperkuat identitasnya dan menghilangkan stereotip,” ujarnya.
Namun, menurut Hendry, setelah Indonesia merdeka, perkebunan yang semula dikelola orang India mulai menghilang. Akibatnya, mereka merantau dan mulai menekuni bidang lain, termasuk berdagang dan mata pencaharian lainnya.
Saat ini ada dua suku dominan di pedesaan Madras: Tamil dan Punjabi. Matta Riswan, Ketua Paroki Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Medan, memperkirakan sekitar 100 kepala keluarga (KK) tinggal di kampung Madras.
Mata menjelaskan, masyarakat asal India yang tinggal di luar Medan antara lain Binjai, Tebing Tinggi, Pematang Siantar, Tanjungbalai, dan Deli Serdang.
“Mereka juga dibawa ke Indonesia dan bekerja di perkebunan,” kata Mata.
Lahir pada tahun 1992, kehidupan sosial desa Madras masih sangat kental dengan budaya India. Ada beberapa restoran di desa yang menyajikan makanan khas India dengan cara kuno.
Sejumlah festival khas India seperti Thaipusam dan Deepavali masih rutin diadakan di pedesaan Madras.
“Meskipun kegiatan budaya ini sangat beragama Hindu, warga desa Madras yang berbeda keyakinan juga mendukung kegiatan budaya ini,” kata Mata.
Seorang aktivis Forum Komunikasi Lembaga Adat Perkotaan Medan mengatakan, di Madras pedesaan tidak hanya terdapat umat Hindu tetapi juga Sikh dan Islam. Di desa Madras, semua orang hidup rukun.
Desa Madras tidak hanya memiliki kuil Sri Mariamman dan gurdwara tetapi juga masjid. Namanya Masjid Gaudiya, dibangun di atas tanah pemberian Sultan Mahmud Al Rasiyid.
Tempat suci Muslim sekarang dikelola oleh Masjid Muslim dan Komite Walfa India Selatan atau Yayasan Muslim India Selatan. Istilah Gaudiya berasal dari nama sebuah desa di Iran yang sebagian besar penduduknya beragama Islam asal India.
Mata mencatat, toleransi di pedesaan Madras sangat tinggi. Mereka juga saling membantu dalam kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh orang India lainnya.
Misalnya, ketika umat Hindu merayakan Deepavali, umat Islam dan Sikh di pedesaan Madras membantu merayakan festival cahaya.
Demikian pula ketika umat Islam di pedesaan Madras merayakan acara keagamaan Islam seperti Idul Adha atau Idul Fitri, umat Hindu dan Sikh ikut membantu.
“Dengan demikian, toleransi dan keberagaman sudah ditanamkan oleh nenek moyang kita sejak dulu,” kata Mata.
Saeed Akbar, salah satu pengurus Yayasan Muslim India Selatan, mengatakan bahwa ikatan persaudaraan di pedesaan Madras sangat kuat.
Menurut dia, warga Desa Madras tidak melihat perbedaan agama karena mereka percaya bahwa orang yang beragama Hindu harus bersaudara.
“Toleransi itu baik, apapun agamanya, kita bersaudara satu sama lain. Persaudaraan kita kuat, kita saling sapa meski agama kita Hindu (bukan Islam),” ujarnya. (mcr22/Medan Pers) Dengar! Video Pilihan Editor: