Medan Pers, YOGYAKARTA – Beberapa hari terakhir, Gunung Merapi yang terletak di perbatasan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah kembali menunjukkan aktivitas. Salah satu gunung berapi teraktif di dunia, Mbah Maridjan menjadi salah satu nama yang sulit untuk dihindari.
Laporan oleh M Sukron Fitriansyah, Yogyakarta
BACA JUGA: Prosesi Labuhan Merapi dimulai dari Petilasan di Mbah Marijan
MAH Maridjan merupakan penjaga Merapi pada periode 1982-2010. Rumahnya terletak di Dusun Kinarejo, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman, DIY, 5 kilometer dari Kawah Merapi.
Nama Mbah Maridjan menjadi nasional ketika Merapi meletus pada pertengahan Mei 2006. Saat itu, pemerintah mengimbau warga yang tinggal di lereng Merapi segera mengungsi.
BACA JUGA: Adakah Misteri di Balik Tragedi Kawah Merapi? Demikian kata putra Mbah Marijan
Namun Mbah Maridjan memutuskan untuk tetap di rumah. Banyak yang menilai dia berani dan menentang pemerintah pusat dan Gubernur DIY Sri Sultan H.B. untuk nasihat.
Sebelas tahun lalu, tepatnya 26 Oktober 2010, Merapi kembali meletus hingga memuntahkan awan panas. Saat letusan besar terjadi, Mbah Marijan berdiam diri di rumah.
BACA JUGA: Dampak Letusan Merapi, 4 Desa Terkena Abu Hujan, Begini…
Kemalangan tidak bisa dihindari, kematian tidak bisa dicegah. Awan panas letusan Gunung Merapi atau dikenal dengan wedhus gembel melanda Kinarejo.
Mbah Maridjan juga menjadi korban letusan saat itu. Jenazahnya diidentifikasi sehari kemudian pada 27 Oktober 2010.
Tempat meninggalnya Mbah Maridjan kini menjadi tugu peringatan. Semacam kuburan dibuat di tempat jenazahnya berada.
Petisana juga dihiasi beberapa lukisan, termasuk potret Mbah Marijani berukuran sedang.
“Cuma kenangan, bapak saya meninggal di situ, jadi dikasih batu nisan,” kata Bu Panut, putri pertama Mbah Maridjani, saat ditemui Medan Pers, Sabtu (18/12).
Ada pula bangkai sepeda motor, bangkai mobil Suzuki APV, dan perabot rumah tangga di dekat Petilasan Mbah Maridjan.
Benda-benda tersebut tak luput dari tepian permata wedhus yang meletus dari kawah Merapi pada tahun 2006.
Bu Panu juga berjualan di kawasan Petilasan Mbah Maridjan. Ia membuka toko di sebelah timur petilasan ayahnya.
Sebuah rumah berbentuk joglo dibangun di atas petilasan Mbah Maridjani. Ada juga pendopo di tempat yang sama.
“Candinya saya bangun sendiri, pendoponya dibangun pihak keraton (Kesultanan Ngayogyakarta) untuk acara pelabuhan Merapi,” kata Bu Panut.
Saat ini, gubuk dan pendopo Mbah Maridjan dikelola oleh masyarakat setempat. Petilasan telah menjadi tujuan wisatawan dari berbagai daerah.
Padahal, lokasi petilasan Mbah Maridjan sangat terpencil. Jalan menuju petilasan juga menanjak.
Namun hal tersebut tidak mengurangi minat wisatawan untuk berkunjung ke monumen Mbah Maridjan.
Biasanya kalau akhir pekan pengunjungnya banyak, kata Bu Panut yang membuka warung sederhana yang menjual berbagai oleh-oleh khas lereng Merapi. (mcr25/Medan Pers)