Medan Pers, BEIJING – Serikat pekerja Indonesia mengikuti kegiatan Organisasi Buruh Internasional (ILO) yang diadakan di Beijing, China.
Dalam acara dua hari yang berlangsung pada tanggal 3-4 Desember 2024, Indonesia menyoroti pentingnya kerja sama antara pemerintah, sektor swasta, dan akademisi untuk mengatasi tantangan pertumbuhan Uni Eropa dan adaptasi digital di kawasan Asia-Pasifik.
BACA JUGA: Ribuan pekerja bongkar muat siap mengantarkan Pramono-Rano memenangkan putaran tersebut
Acara ketenagakerjaan internasional bertajuk “Navigating the Labor Market Transformation: Trade Union Development and Digital Adaptation in the Asia-Pacific” membahas perubahan besar di pasar tenaga kerja global, dampak teknologi dan peran serikat pekerja dalam menjamin kesejahteraan dan perlindungan pekerja di era digital.
Dalam acara tersebut, para peserta membahas topik-topik penting seperti perkembangan serikat pekerja di era digital, peran pelatihan keterampilan dalam mempersiapkan tenaga kerja menghadapi transformasi teknologi, dan pentingnya kerja sama internasional dalam melindungi hak-hak pekerja dalam konteks perkembangan global. pasar.
BACA JUGA: Perwakilan Partai Buruh bantah wacana TNI tentang kepolisian
Delegasi Indonesia diwakili oleh William Yani Wea dari Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) dan perwakilan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI)/CITU (Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia) Abdul Gofur Syahroni.
Mereka menekankan pentingnya kerja sama antara serikat pekerja, pemerintah, dan sektor swasta untuk menciptakan kebijakan yang mendukung transisi yang adil dan inklusif di dunia kerja.
BACA JUGA: Francine menyerukan semua pihak untuk memprioritaskan dialog mengenai tuntutan kenaikan gaji pekerja
William Yani Wea menyampaikan beberapa poin utama yang dibahas yaitu transformasi digital yang sangat pesat di era Industri 4.0 dan 5.0, seperti kecerdasan buatan (AI) dan machine learning.
Menurutnya, proses ini sangat berbeda dengan transformasi sebelumnya di sektor industri tradisional yang lebih lambat dan berbasis fisik.
Misalnya, lanjut Yani, kode perangkat lunak yang dapat langsung direplikasi dan diterapkan di seluruh sektor, sehingga memberikan kinerja yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Hal ini menunjukkan bahwa dunia digital memungkinkan terjadinya inovasi pada tingkat yang eksponensial, namun juga menciptakan tantangan dalam hal adaptasi manusia terhadap teknologi dan regulasi yang tepat.
Transformasi digital menciptakan tantangan bagi peraturan nasional, yang seringkali tidak dapat mengimbangi laju inovasi global. Selain itu, semakin banyak pembicaraan mengenai dampak teknologi baru terhadap lapangan kerja, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
“Untuk mengatasi permasalahan ini, kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan akademisi untuk menciptakan kerangka peraturan yang inklusif sangat diperlukan. Pendidikan dan pelatihan ulang tenaga kerja juga harus menjadi prioritas untuk memastikan pembangunan ekonomi dan sosial yang berkelanjutan,” jelasnya.
Selain itu, William juga bercerita mengenai perubahan teknologi di dunia kerja. Menurutnya, pemanfaatan teknologi dalam dunia kerja harus disesuaikan dengan kebutuhan teknologi tersebut. Oleh karena itu, yang kita hadapi adalah penyesuaian, bukan pengangguran.
Misalnya saja dalam dunia industri otomotif. Yani memperkirakan di sektor seperti otomotif, semakin banyak industri skala besar yang beralih ke produksi berbasis teknologi.
“Kita perlu meningkatkan daya saing dengan memperluas akses pekerja terhadap pendidikan dan pelatihan agar mereka mampu menghadapi teknologi digital dan meningkatkan kemampuannya bersaing di pasar global,” tutupnya. (dil/Medan Pers)