Medan Pers – Sebuah video yang memperlihatkan seorang wanita menangis dan berteriak sambil digendong beberapa pria sedang viral di media sosial.
Dalam video yang viral sepekan lalu, perempuan yang berjuang itu dibawa ke sebuah rumah di Nusa Tenggara Timur di Sumba Tengah.
BACA JUGA: Kabar Duka Meninggalnya Pria Sumbi, Kami Turut Berduka Cita
Selain itu, ada video seorang perempuan “diculik” oleh empat pria di terminal Weetabula, Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur.
Kedua video tersebut menggambarkan bagian dari proses perkawinan tawanan, sebuah praktik yang umum terjadi di kalangan masyarakat Sumbia, khususnya di pedalaman.
Baca Juga: Update Corona 20 Juni 2020: Kabar Sumba Bakal Kaget
“Tradisi ini sebenarnya sudah turun temurun, tapi kalau dilihat sekarang sangat berbeda,” kata Rambu Prayliang, perempuan asal Sumba Tengah.
Rambu mengaku sangat menentang pernikahan tawanan dan mengatakan penerapan yang dilakukan saat ini jauh berbeda dengan pengalaman sebelumnya.
BACA JUGA: Video Suksesi Takhta Viral, Sontak Mengharukan
Menurutnya, dulu perempuan yang melakukan tradisi tangkap nikah atau tradisi Palaingidi Mavini dihormati.
Menurutnya, dulu orang yang melakukan kawin tawar berasal dari keluarga berada sehingga mahar atau mas kawin yang harus dibayarkan kepada pihak perempuan pun tinggi.
Menurut dia, perempuan yang akan “ditangkap” itu juga mengenakan pakaian adat lengkap, gelang gading, dan berbagai hiasan.
Laki-laki yang akan mengawini gadis itu mengenakan pakaian adat lengkap dan menunggangi kuda berhiaskan kain adat.
Setelah pihak perempuan “ditangkap”, pihak laki-laki akan mengirimkan utusan ke keluarga pihak perempuan untuk menyampaikan informasi tentang perjodohan tersebut.
Namun menurut Rambu, praktik kawin tawanan kini berujung pada penculikan sehingga memaksa perempuan Sumba, khususnya di Sumba Tengah, Sumba Barat, dan Sumba Barat Daya, hidup dalam ketakutan.
Janet Alison Hoskin, peneliti yang pernah belajar di Cody, Sumba Barat Daya, dan Joel C. Kuipers, yang belajar di Wawewa, Sumba Barat, mengatakan bahwa kawin tawan bukanlah sebuah budaya atau tradisi, melainkan praktik yang berulang di Pulau Sumba. .
Sementara itu, menurut antropolog Universitas Vidya Mandira Kupang, Pastor Gregorius Neonbasu, SVD, pernikahan di Pulau Sumba merupakan tindakan pragmatis yang didorong oleh kondisi kehidupan dan iklim yang bersifat sementara.
Oleh karena itu, menurut saya, persoalan ini harus segera diselesaikan oleh para tokoh atau sesepuh masyarakat Sumba, karena pernikahan merupakan perbuatan sementara tergantung kondisi dan suasana kehidupan setempat, katanya.
Menurutnya, masyarakat Sumbia juga berusaha sebisa mungkin menghindari praktik kontroversial pernikahan tawanan.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Dharmawati mengatakan penangkapan nikah di Sumba Tengah dan Sumba Barat Daya merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak.
“Budaya dan tradisi bersifat dinamis, tidak statis. Kasus kawin tawang merupakan kekerasan dan penindasan terhadap perempuan dan anak. Oleh karena itu, tradisi budaya tidak bisa dijadikan kedok penindasan terhadap perempuan dan anak saja.” katanya.
Polda Bintang Nusa Tenggara Timur meminta penangkapan pelaku kawin tawanan setelah sejumlah aktivis melaporkan kawin tawanan di Sumba ke polisi.
Bonu Vulla, anggota Komisi IX DPRK terpilih dari daerah pemilihan Sumba, mengaku prihatin dengan masih adanya pernikahan tawanan di Pulau Sumba.
Sebagai perempuan, ia mengaku merasakan kegelisahan dan ketakutan yang mendera perempuan akibat ritual yang mengatasnamakan budaya di Pulau Sumba.
“Saya sebagai perempuan dan orang Sumba tidak setuju dengan pelestarian budaya ini karena sangat berdampak buruk bagi perempuan Sumba,” ujarnya.
Politisi Nasdem itu juga menyebut perjodohan telah menghilangkan hak perempuan di Sumbe.
Menurut Ratu Ngadu Emilia Nomleni, Ketua DRC Nusa Tenggara Timur, praktik kawin tawang menimbulkan ketakutan di kalangan perempuan dan anak perempuan di Sumba.
Ia mengatakan, meskipun mereka yang tidak merasakan langsung akibat dari pernikahan tawanan mungkin menganggap hal tersebut sebagai hal yang wajar, namun tidak demikian halnya dengan perempuan yang pernah mengalami dan menyaksikan secara langsung.
“Perilaku tersebut tentu akan berdampak pada kehidupan mereka setelah menikah, namun kenyataannya perilaku tersebut tidak diperbolehkan,” kata politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu.
Komisioner Komnas Perempuan Siti Amina Tardi mengatakan perjodohan tersebut merupakan bagian dari tindakan kekerasan seksual berupa kawin paksa.
Menurutnya, praktik tersebut harus dihentikan dan semua pihak baik aparatur sipil negara, polisi, tokoh adat, tokoh agama, hingga masyarakat setempat harus bersatu untuk menghentikannya.
“Ini merupakan pelanggaran hukum karena korbannya, perempuan dalam kasus ini, telah dirampas kebebasannya. Oleh karena itu, kita harus bersatu untuk memastikan perempuan Sumba tidak menjadi korban dalam kasus ini,” ujarnya.
Emilia mengatakan sudah waktunya menghentikan praktik pernikahan tawanan.
“Dulu saya bisa melegalkan praktik ini, tapi lama kelamaan saya berhenti melakukannya,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa perempuan dan anak-anak harus dilindungi dari praktik-praktik yang merampas hak-hak mereka dan menimbulkan ketakutan, seperti kawin paksa. (antara/Medan Pers)