Medan Pers – Ramadhan harus diterima dengan banyak doa. Namun di Jalan Kaligawe Raya, Kecamatan Gayamsari, Kota Semarang, kehadiran bulan suci umat Islam justru menandakan datangnya musim kontroversi.
Laporan Wisnu Indra Kusuma, Semarang
Baca Juga: Kontroversi Sarung Berujung Kematian, Kematian Mengerikan Remaja 14 Tahun
Suara nyaring penuh jeritan mengusik ketenangan Sulasih. Ramses sang penjual nasi langsung mengurungkan niatnya untuk melayani pelanggan yang ingin sarapan di warungnya.
Perempuan berusia 60 tahun ini paham betul kalau keributan itu akibat perkelahian antar remaja. Konflik massal tersebut melibatkan remaja Desa Tambakerjo dan Desa Kaligave.
Baca Juga: 2 Tersangka Kasus Tawuran Maut, Anak Buah Gideon Coombs Kejar Penjahat Lainnya
Sulasih sering menyaksikan perkelahian. Warung ini terletak di jalan Pantura, tepat di seberang pintu gerbang desa Kareng Kimpol, desa Kaligave.
Di awal bulan suci Ramadhan 1443 H, pemuda dua desa terlibat perkelahian. Keributan yang dimulai pada Sabtu (4/4) sore itu berlanjut hingga Minggu (4/3) pagi.
Baca Juga: Gideon Coombs Ungkap Momen Remaja Tewas dalam Pertarungan Sadis
Solasih menuturkan, suasana malam itu sangat mencekam. Tiba-tiba tubuhnya menjadi rileks.
Takut dan khawatir, Sulasih memberanikan diri melihat celah di tokonya. Ia semakin lemas saat melihat puluhan remaja berkelahi dengan senjata tajam.
“Kemarin saya lihat tawuran, saya merasa marah,” kata Sulasih saat diwawancarai Medan Pers Jawa Tengah baru-baru ini, yang sebagian besar melibatkan anak kecil.
Sulasih memperhatikan lingkungan di depan tokonya. Dia berkata: Alhamdulillah tidak ada pendarahan.
Para remaja yang diyakini masih duduk di bangku SMA itu bubar satu per satu.
Namun Sulasih tetap menutup pintu toko dengan rapat.
“Saya sudah bilang ke pelanggan kalau Sahoor masih buka, tapi karena ada perkelahian di sana, saya takut,” ujarnya.
Bahkan, gerakan Ramadhan kerap dimanfaatkan para remaja yang tinggal di dekat kanal banjir bagian timur untuk menunjukkan kelangsungan hidup mereka. Namun, remaja memilih debat sebagai metode berekspresi.
Mereka tidak bekerja dengan tangan kosong. Banyak di antara mereka yang mempersenjatai diri dengan senjata tajam, seperti pisau, arit, belati, bahkan potongan kayu panjang atau besi berlubang.
Tweek, salah satu warga, mengatakan tawuran selalu terjadi menjelang Ramadhan dan Idul Fitri. Ia mengatakan: “Setiap tahun, terutama saat puasa dan hari raya, terjadi keributan.
Pria berusia 68 tahun itu mengatakan, perkelahian sering terjadi karena Tambakarjo dan Kaligave masih berada di wilayah Desa Muktiarjo, Kecamatan Jenuk. Namun, pada tahun 1976 kedua desa tersebut diperluas menjadi subdivisi terpisah.
“Sudah ada di sini sejak tahun 1975,” kata Twick. Daerah ini paling tidak aman, pendatang takut datang ke sini, perkelahian terus menerus terjadi di sini.
Warga lainnya bernama Harmwan (48 tahun) menceritakan, ketika ia masih kecil, ia mendengar cerita dari ayahnya bahwa masyarakat sekitar sering berkelahi di jalan pada malam takbiran Ramadhan dan menjelang Idul Fitri.
Geng dari dua desa tidak bisa bertemu. Selalu ada perbedaan yang berujung pada perkelahian, bahkan pertumpahan darah dan kematian.
“Ini berlangsung secara turun temurun. Selalu terjadi perkelahian setiap hari pertama Ramadhan,” ujarnya.
Hermavan mengatakan, dulu remaja tidak ikut tawuran antar desa. Menurutnya, generasi sekarang di kedua desa tersebut hanya meneruskan kebiasaan para pendahulunya.
Ia pun dikejutkan dengan keributan yang terjadi berulang-ulang tanpa ada kejelasan apa penyebab masalah tersebut. “Tidak ada yang namanya perebutan kekuasaan, seperti tempat parkir dan sebagainya,” ujarnya.
Kekhawatiran Harmwan bertambah seiring pemerintah memperbolehkan warga mudik saat Idul Fitri. Ia khawatir akan terjadi perkelahian besar pada malam takbiran.
“Kalau nanti libur nanti tenang, nanti ada spekulasi, tunggu saja pasti ada tawuran,” ujarnya.
Haramawan mengatakan, pertempuran terparah hingga saat ini terjadi di wilayah tempat tinggalnya sebelum Soeharto turun dari kursi kepresidenan.
Katanya: “(Kontroversi) ini sudah ada sejak zaman saya, bisa dibilang zaman Pak Harto.
Oleh karena itu, Harmwan berharap tokoh masyarakat setempat bertemu dengan pemerintah dan polisi untuk membahas cara mencegah konflik antar desa.
Setidaknya ada satu pos pengamanan yang dijaga polisi dan para tokoh duduk bersama, ujarnya.
Sebenarnya, polisi sudah melakukan upaya preventif. Polisi juga berkoordinasi dengan warga desa dan prefek setempat.
“Kami serius, jangan sampai ini meluas ke mana-mana,” kata Kapolsek Gyamsari Kompol Hongki Prastew.
Polisi tidak segera mengidentifikasi dan melibatkan remaja yang terlibat perkelahian sebagai penjahat. Sebab, polisi memutuskan menyelesaikan permasalahan tersebut dengan restorative justice.
“Belum ada korban jiwa,” kata Kasat Reskrim Polrestabes Semarang Dani Sardo Lombatirwan (MCR5/Medan Pers).