Medan Pers – Sekitar sembilan tahun lalu, ribuan warga Pulau Palue di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT), harus merantau ke Maumere di Pulau Flores. Letusan Gunung Rokatenda memaksa sebagian besar masyarakat Pulau Palue berpindah ke daerah lain dan mencari kehidupan baru.
Dilaporkan oleh Meylinda Putri Yani Mukin, Maumere
Baca Juga: Warga Maumere Jokowi, Tiba-tiba Reaksi Masyarakat
Pada tanggal 21 Desember 2012, gunung berapi Rokatenda meletus. Letusan gunung berapi di utara Pulau Flores memaksa ribuan orang mengungsi.
Namun pengungsi tidak bisa kembali ke tempat tinggalnya. Ledakan Rokatenda telah lama memaksa Pemerintah Kabupaten Sikka membuat shelter bagi pengungsi Pulau Palue.
Baca Juga: Terima Kunjungan Irjen Setyo, Viktor: Saya Ingin Semangat Jadi Peneliti Bisa Bekerja di NTT.
Rumah barunya berada di Hewuli, desa sekitar 16 kilometer dari pusat kota Maumere. Di Desa Hewuli itulah masyarakat Palu belajar beradaptasi dengan kehidupan perkotaan.
Tidak ada lagi lahan untuk bertani. Tidak ada kapal untuk melaut.
Baca Juga: Warung Nasi Bu Eha dan Cita Rasa Keluarga Bung Karno
Pria itu juga kehilangan nyawanya untuk menghidupi keluarga. Ada yang memutuskan bermigrasi ke luar daerah, ada pula yang menjadi ilegal di Malaysia.
Natalia Sopho, mantan pengungsi Rokatenda, menggambarkan sulitnya hidup di daerah baru. “Saat kami pindah ke sini, kami sedih karena tidak memiliki lahan,” ujarnya.
Menurut Natalia, ia dan pengungsi lainnya terpaksa tinggal di rumah orang lain. Tidak ada jaminan pendapatan di rumah baru.
“Kami di rumah orang. Kami masih belum punya pekerjaan tertentu, jadi kami sangat kesulitan,” ujarnya.
Menghadapi beban hidup yang berat, ibu-ibu asal Rokatenda berusaha mencari nafkah dengan menganyam. Menjual produk geologi masih menjadi hal baru bagi mereka.
Bagi masyarakat Paleo, menenun merupakan kegiatan rekreasi. Erniwati Lali, salah satu pengungsi asal Rokatenda, mengatakan, produk tenun tersebut biasanya hanya untuk kalangannya saja.
“Waktu di Pale, kami hanya melakukan tenun untuk keperluan tradisional dan hanya memanfaatkan itu saja. Kami tidak tahu jual beli,” ujarnya.
Namun, perempuan-perempuan di Rokatenda adalah perempuan-perempuan yang tangguh. Mereka belajar menjual untuk mencari nafkah.
“Setelah pindah ke sini, lambat laun kami belajar dan mampu menghidupi anak, suami, dan keluarga kami,” kata perempuan yang kini menjadi ketua kelompok tenun pewarna alam di Desa Hewuli.
Erniwati kemudian bercerita tentang awal mula dirinya sebagai seorang istri dan ibu hingga memutuskan menjadi tulang punggung keluarga. Menurut dia, saat ini terdapat 15 perempuan lainnya yang bekerja di industri tekstil.
Bagi eks pengungsi Rokatenda, Maumere menawarkan pengalaman baru dan belum pernah terjadi sebelumnya. Pasar ini masih baru bagi mereka.
“Pertama kali ke Maumere, kami baru tahu kalau kain tenunnya bisa dijual. “Kami masih mencari tahu pasarnya seperti apa saat kami di sini,” ujarnya.
Pada awalnya Erni dan penenun lainnya mencoba menjual hasil tenunannya di pasaran, namun tenun wanita Rokatenda tidak serta merta laku.
“Kami diam dan tidak tahu bagaimana cara menjualnya. Kami melihat hasil tenunan orang lain untuk dijual, namun milik kami tidak untuk dijual,” sambungnya.
Mereka belajar di sana. Mau tidak mau, Erni dan para penenun lainnya harus bisa menjual hasil tenunannya.
Erni dan rekan-rekannya kembali ke pasar yang sama keesokan harinya. Namun, mereka tidak asal menyebarkan sulaman lalu diam saja.
Menurut Erno, dirinya bersama penenun asal Rokatenda itu berupaya menarik perhatian pembeli.
“Kami berani mengajak masyarakat ke pasar dan belajar jual beli. “Kami harus belajar menjual tenun dan menghidupi suami dan anak serta memenuhi kebutuhan rumah tangga,” kata Erni.
Mereka menjual kain dengan harga murah, yang penting cukup untuk memenuhi kebutuhan lantai dasar dan biaya tradisional yang mendesak.
Mereka menjual produk tenun dengan warna natural dengan harga berkisar Rp 350 ribu hingga Rp 400 ribu.
Harga tersebut sangat murah. Sebab, harga minimal tenun Rokatenda adalah Rp 800 ribu.
Kondisi inilah yang diuntungkan oleh para perantara. Mereka mendukung tenun yang dibuat oleh perempuan Rokatenda, dan kemudian menjualnya dengan harga yang jauh lebih tinggi.
Namun ada yang tidak beres, karena para tengkulak mengambil produk tekstil dari masyarakat Rokatenda terlebih dahulu, sedangkan pembayarannya belakangan. Oleh karena itu, penenun tidak mendapatkan uang langsung dari keringatnya.
Untuk saling menguatkan sebagai sesama pengungsi, Pak Erni dan 15 penenun lainnya membentuk kelompok tenun bernama Mbola So. Namanya berasal dari bahasa Palu yang artinya terima kasih.
Para penenun memilih nama ini sebagai ungkapan terima kasih kepada pemerintah Kabupaten Sikka. “Kami sangat berterima kasih atas bantuan Pemerintah Kabupaten Sikka. Kami sudah mendapat tanah dan uang untuk membangun rumah,” kata Erni.
Sejak Erni dan rekannya mendirikan Mbola So, Hewuli yang awalnya merupakan tempat pengungsian berubah menjadi destinasi wisata tenun ikat dengan warna-warni alami.
Mbola Sa memanfaatkan kondisi ini untuk menjual hasil tenunannya langsung ke wisatawan domestik dan internasional.
Namun, semuanya berubah selama pandemi Covid-19. Desa Mbola So dan Hewuli juga terkena dampaknya.
Sekali lagi, ketahanan perempuan eks pengungsi Rokatenda menghadapi ujian. Sifatnya yang gigih mendorong Erni dan kawan-kawan untuk membentuk koperasi.
Ada seorang sarjana Universitas Nusa Nipa, Hendrikus Pedro, yang membantu para penenun Rokatenda di Hewuli membentuk koperasi bernama Mbola So. Mereka membentuk koperasi dan masing-masing sepakat menyetorkan modal sebesar Rp 500 ribu.
Setoran pertama juga dapat dicicil sesuai dengan harta kekayaan masing-masing anggota koperasi. Selain itu, uang yang terkumpul digunakan untuk pinjaman modal dengan jaminan berupa sarung buatan penenun.
Jika anggota Mbola So membutuhkan uang, bantuan diberikan oleh koperasi. Bunga pinjamannya sebesar 10 persen untuk jangka waktu 10 bulan.
Melalui koperasi itulah mereka memproduksi kain Mbola sehingga tenunan polos dengan motif patah-patah berbeda dibandingkan kain sejenis dari daerah lain. Salah satu penenun Rokatenda, Nancy, mengatakan, kualitas dan warna oleh-oleh para eks pengungsi lebih bagus dibandingkan yang dijual di pasar.
“Polanya serbaguna dan cocok untuk berbagai pilihan benang,” ujarnya.
Penyebaran Covid-19 juga mendorong para penenun Mbola So menjual hasil tenunannya secara online di media sosial. Namun ada kendala karena hanya tiga penenun yang memiliki perangkat dengan sistem operasi Android.
“Di rumah ada telepon seluler, tapi itu milik anak saya. Saya hanya tahu bagaimana menjawab telepon ketika ada yang menelpon. Selebihnya saya tidak tahu,” kata Agustina, salah satu anggota kelompok Mbola So.
Namun kendala tersebut tidak menyurutkan semangat para penenun Rokatenda. Mereka gencar memasarkan tenun khas tersebut melalui WhatsApp dan media sosial lainnya.
Meskipun gambar dan cerita yang digunakan dalam pemasaran tenun sederhana, namun jangkauannya melampaui wilayah Flores. Pesanan dari Jakarta dan daerah lain juga datang.
Penenun bisa menjual kain dengan harga lebih dari 800.000 kip, ada pula yang mencapai 1,3 juta dolar.
Meski demikian, penenun Rokatenda tetap mengharapkan adanya pelatihan. Mereka ingin karyanya tidak hanya berupa tenunan, namun juga kerajinan lainnya, seperti anting, gelang, kalung, sepatu dan lain sebagainya.
Jejak kebersamaan dan perjuangan Mbola agar para ibu tetap bertahan hidup membuat mereka tetap tegar dan terus berkembang.
Menurut Erni, perempuan Rokatenda di Hewuli ingin anaknya bersekolah di sekolah menengah.
“Anak-anak saya harusnya punya pendidikan yang lebih tinggi dari saya. Itu yang membuat saya kuat dan berani mencari nafkah,” kata Erni. (Medan Pers) Jangan lewatkan video terbaru: